EmitenNews.com - Jaksa Agung ST Burhanuddin menantang para hakim berani menerapkan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Ia mengklaim masyarakat menginginkan ada terobosan hukum berupa pidana mati kepada para koruptor sebagai perlindungan HAM dan memenuhi rasa keadilan. Hukuman mati penting, karena saat ini jenis dan modus korupsi sangatlah banyak. Proses eksekusi selama ini juga kerap terkendala oleh putusan Mahkamah Konstitusi.


"Terobosan hukum berupa penjatuhan sanksi pidana mati dalam proses penuntutan saya berharap dapat ditindaklanjuti pula dengan terobosan hakim dalam memutus suatu perkara korupsi," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam sambutannya pada sebuah diskusi daring bertajuk penerapan hukuman mati, Kamis (25/11/2021).


Dalam pandangan Jaksa Agung Burhanuddin, undang-undang memungkinkan hakim menjatuhkan hukuman mati. Ia merujuk pada sejumlah beleid perundang-undangan yang dapat digunakan hakim dalam penerapan hukuman tersebut. Misalnya, Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan dan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Intinya, hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana mati sepanjang perkara tersebut memiliki tingkat kesalahan dampak dan keuntungan terdakwa yang tinggi. Ketentuan dalam pasal ini dapat menjadi parameter bersama untuk dapat menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.


Sejauh ini belum ada koruptor yang divonis hukuman mati oleh hakim sejak Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Namun demikian, Burhanuddin tak memungkiri bahwa masih terdapat sejumlah persoalan dalam penerapan pasal-pasal hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Misalnya, UU Tipikor belum menggunakan parameter nilai kerugian keuangan negara untuk menjatuhkan pidana mati.


Berbeda dengan Undang-undang Narkotika yang melihat parameter berat jenis narkoba yang diperkarakan untuk kemudian dapat memperberat hukuman hingga pidana mati. Burhanuddin mendorong agar syarat-syarat ataupun keadaan khusus sebagaimana ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dapat diperbarui. Menurutnya pun, pemberian hukuman mati menjadi penting lantaran saat ini jenis dan modus korupsi sangatlah banyak.


Jaksa Agung juga menyoroti, proses eksekusi oleh Jaksa eksekutor selama ini kerap terkendala oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir Undang-undang sebelumnya. Contohnya, terkait upaya peninjauan kembali lebih dari satu kali merujuk putusan MK nomor 34/TPU/XI/2013 yang kemudian merevisi Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Putusan MK nomor 117/TPU/XIII/2015 kini membuat permohonan grasi dapat dilakukan tanpa batas.


"Kedua putusan MK tersebut berpotensi dapat menjadikan pelaksanaan putusan berlarut-larut ketika terpidana yang hendak dieksekusi tiba-tiba mengajukan permintaan PK atau permohonan grasi. Inilah yang menyebabkan tidak selesai-selesainya pelaksanaan eksekusi," jelasnya.


Jaksa Agung menyatakan akan terus menyuarakan gagasan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Tujuannya, agar efek jera dapat dirasakan hingga ke masyarakat langsung dan bukan hanya pada terpidana kasus korupsi. Ia berpendapat, gagasan untuk menghukum mati koruptor adalah bentuk manifestasi kegalauan pemberantasan tipikor.


“Mengapa ribuan kasus sudah diungkap dan ribuan pelaku korupsi telah ditindak, tapi justru kualitas dan tingkat kerugian negara justru semakin meningkat," tegasnya. ***