Bedah Masalah Implementasi Coretax: Antara Harapan dan Realita

ilustrasi coretax.DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Reformasi perpajakan terus digalakkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai upaya untuk mempermudah proses pelaporan dan penyetoran pajak bagi Wajib Pajak. Langkah ini diambil guna memperkuat sistem administrasi perpajakan, baik bagi wajib pajak maupun fiskus. Dalam rangka meningkatkan integritas dan kualitas data, Kementerian Keuangan, khususnya DJP, berkomitmen untuk mengembangkan sistem administrasi digital yang lebih baik.
Salah satu terobosan terbaru adalah peluncuran Coretax (Core Tax Administration System), sebuah aplikasi canggih yang menjanjikan integritas tinggi dalam pengelolaan administrasi perpajakan. Melalui sistem ini, DJP berharap pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan dapat berjalan lebih efektif, transparan, dan mudah diakses oleh semua pihak.
Pada 24 Desember 2024, DJP telah mengumumkan bahwa Wajib Pajak dapat melakukan login ke sistem Coretax dan pada 1 Januari 2025 DJP dengan resmi merilis sistem Coretax tersebut.
Namun, hingga saat ini, banyak masalah teknis dan operasional yang muncul, menyebabkan keluhan dari berbagai pihak. Alih-alih menjadi solusi yang mempermudah, sistem ini justru dianggap menghambat proses administrasi perpajakan, yang sangat bertolak belakang dengan tujuan awal DJP meluncurkan Coretax.
Peluncuran Coretax (Core Tax Administration System) merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan meningkatkan transparansi, akurasi, dan kemudahan dalam berbagai proses administrasi perpajakan. Sistem ini dirancang untuk mengintegrasikan berbagai layanan perpajakan dalam satu platform, dengan harapan dapat mengurangi kesalahan manual, mempercepat proses pelaporan dan penyetoran pajak, serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Mengutip dari laman resmi DJP, diketahui bahwa Kementerian Keuangan secara resmi menunjuk PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia (PwC) sebagai agen pengadaan Coretax. PwC bertanggung jawab untuk mengurus pengadaan sistem ini hingga selesai. Tidak hanya itu, PwC juga mengumumkan LG CNS-Qualysoft Consortium sebagai pemenang pengadaan Coretax dan PT Deloitte Consulting sebagai pemenang pengadaan jasa konsultasi owner’s agent-project management and quality assurance pembangunan Coretax, dengan total nilai kontrak mencapai Rp 1,33 triliun.
Dilihat dari latar belakang ketiga perusahaan tersebut—yang merupakan perusahaan global dengan reputasi sebagai perusahaan terbaik di dunia—serta besarnya nilai kontrak, seharusnya pembangunan sistem ini dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan produk yang berkualitas. Namun, mengapa hingga saat ini masih banyak permasalahan yang terjadi dalam sistem tersebut?
Banyak laporan yang mengungkap kendala teknis dan operasional dalam penerapan sistem Coretax. Beberapa masalah yang sering muncul antara lain gangguan sistem, ketidaksesuaian data, dan kurangnya sosialisasi atau pelatihan bagi para pengguna. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak aspek yang perlu dibenahi, mulai dari infrastruktur teknologi, kualitas data, hingga kesiapan sumber daya manusia yang mengoperasikan sistem tersebut.
Tidak hanya itu, muncul dugaan bahwa mega proyek ini menjadi salah satu ladang korupsi yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan nilai proyek yang mencapai triliunan rupiah, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya harus dipastikan agar tujuan awal reformasi perpajakan dapat tercapai.
Direktur Riset Keamanan Siber (CISSREC), Pratama Persadha, mengkritisi bahwa masalah-masalah yang terjadi pada Coretax kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya kesiapan infrastruktur teknologi. Coretax harus mengintegrasikan berbagai layanan perpajakan dan data dari sistem yang sudah ada sebelumnya. Proses ini sering terkendala karena perbedaan standar data, teknologi yang digunakan, ketidaksesuaian metode komunikasi antar sistem, serta kurangnya koordinasi antara instansi terkait.
Pratama juga menyoroti rendahnya kualitas data yang dimasukkan ke dalam sistem Coretax. Data yang tidak lengkap dan tidak valid diduga terjadi karena pengembang Coretax tidak mengimpor data dari sistem lama. Akibatnya, pengguna harus memasukkan kembali data yang sebenarnya sudah ada di sistem perpajakan sebelumnya.
Seorang ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE, berpendapat bahwa sistem Coretax masih belum berfungsi secara optimal. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh proses implementasi kebijakan yang terlalu terburu-buru dan kurang matang. Rijadh menambahkan bahwa perencanaan pelaksanaan dan mitigasi risiko dari sistem tersebut belum dilakukan secara optimal.
Ia juga menyoroti bahwa tahapan implementasi, terutama pada proses deployment, migrasi data, dan load balancing, tidak berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai masalah teknis yang dikeluhkan oleh banyak pihak. Meskipun demikian, Rijadh menegaskan bahwa ide di balik Coretax sebenarnya baik dan strategis, namun perlu didukung oleh persiapan dan eksekusi yang lebih matang.
Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk mempertahankan sistem pajak lama hingga Coretax benar-benar siap diterapkan sepenuhnya. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap berbagai permasalahan teknis dan operasional yang muncul selama fase implementasi awal. Langkah ini dinilai penting untuk memastikan transisi yang mulus dan minim gangguan, sambil memberikan waktu bagi pengembang untuk menyempurnakan sistem.
Untuk memastikan keberhasilan transformasi sistem perpajakan ini, pemerintah dan pengembang Coretax perlu menerapkan langkah-langkah komprehensif dalam keamanan siber. Keamanan harus menjadi pondasi utama dalam pengembangan dan operasional Coretax. Salah satu langkah kritis adalah menerapkan manajemen risiko yang ketat, termasuk penilaian risiko berkala, penyusunan rencana pemulihan (recovery plan), dan simulasi serangan siber untuk mengidentifikasi kerentanan sistem. Selain itu, prinsip minimalisme data perlu diterapkan dengan membatasi akses data berdasarkan prinsip least privilege (hak akses minimal), sehingga hanya pihak yang berwenang yang dapat mengakses data sensitif. Audit keamanan rutin juga harus dilakukan untuk memastikan sistem tetap sesuai dengan standar keamanan terbaru.
Perlindungan data Wajib Pajak harus menjadi prioritas utama. Pengembang Coretax dapat mengimplementasikan enkripsi data untuk memastikan semua informasi yang disimpan dan ditransmisikan terlindungi dari kebocoran. Selain itu, pembatasan akses yang ketat berdasarkan peran (role-based access control) perlu diterapkan untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan data.
Di sisi sumber daya manusia, peningkatan kapasitas bagi pegawai DJP dan Wajib Pajak menjadi kunci keberhasilan implementasi Coretax. Pelatihan rutin dan penyuluhan berkala perlu diadakan untuk meningkatkan pemahaman tentang ancaman siber dan cara menjaga kredensial dengan aman. Sosialisasi best practices, seperti menghindari phishing dan serangan siber lainnya, juga harus menjadi bagian dari upaya edukasi ini.
Related News

Temukan Saham Tercepat Balik Modal melalui Metode Payback Period

Begini Prospek Saham BBRI, BMRI, dan BBNI Pasca Rilis Danantara

Tunda Short Selling dan Buyback Saham Tanpa RUPS, IHSG Terdampak?

Gaya Hidup Buy Now Pay Later, Tren atau Jerat Utang Baru?

IHSG di Tengah Pusaran Donald Trump, Morgan Stanley, dan Danantara

Freelance Pendulang Cuan dari Tambang Kripto