EmitenNews.com - Keindahan Raja Ampat, destinasi pariwisata unggulan Indonesia yang terkenal sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia, kini terancam oleh aktivitas pertambangan nikel. Kekhawatiran masyarakat, pemerhati lingkungan dan pelaku pariwisata terhadap dampak tambang nikel di kawasan ini memicu respons cepat pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi izin pertambangan serta melindungi ekosistem dan potensi pariwisata Raja Ampat.

Raja Ampat, yang diakui sebagai UNESCO Global Geopark dan menjadi rumah bagi 75% spesies karang dunia serta lebih dari 1.500 spesies ikan, menghadapi ancaman serius akibat ekspansi pertambangan nikel di beberapa pulau kecil, seperti Pulau Gag, Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun. 

Aktivitas ini dinilai melanggar regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang memprioritaskan kawasan ini untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian, bukan eksplorasi tambang.

Laporan dari Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa pertambangan nikel telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Di Pulau Gag, misalnya, warga setempat melaporkan air laut menjadi keruh akibat sedimen dari tambang, yang menutupi lamun dan karang, serta mengancam habitat ribuan spesies laut. 

Selain itu, debu nikel yang beterbangan saat musim angin kencang menyebabkan masalah kesehatan seperti batuk bagi masyarakat sekitar. 

“Keindahan laut yang rusak dapat berdampak langsung pada sektor pariwisata Raja Ampat. Hal ini juga berpotensi menyebabkan masyarakat kehilangan sumber pendapatan alternatif yang berkelanjutan,” ungkap Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar dalam keterangan yang dikutip Senin (9/6/2025).

Sektor pariwisata Raja Ampat, yang menyumbang Rp150 miliar per tahun bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan 30.000 kunjungan wisatawan (70% di antaranya wisatawan mancanegara) pada 2024, berisiko anjlok hingga 60% jika kerusakan lingkungan berlanjut. Hal ini mengancam mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada pariwisata dan perikanan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia di Jakarta, 4 Juni 2025) menegaskan bahwa pemerintah akan mengevaluasi aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat dengan memanggil pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). “Nanti pulang saya akan evaluasi. Saya ada rapat dengan Dirjen. Saya akan panggil pemilik IUP, baik BUMN maupun swasta.” 

Yang jelas, Bahlil menyebutkan bahwa operasional tambang PT GAG Nikel, yang berlokasi di Pulau Gag dan dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty (75%) serta PT Aneka Tambang Tbk (Antam) (25%), telah dihentikan sementara hingga verifikasi lapangan selesai.

Bahlil menjelaskan bahwa lokasi tambang PT GAG Nikel berjarak sekitar 30-40 km dari destinasi wisata utama Pulau Piaynemo, dan hanya satu dari lima IUP di Raja Ampat yang saat ini beroperasi. 

“Wilayah Raja Ampat itu banyak konservasi, banyak pulau-pulau yang untuk pariwisata, tapi juga ada pulau-pulau yang memang ada pertambangan,” katanya, seraya menegaskan pentingnya penyesuaian dengan analisis dampak lingkungan (Amdal).

Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana juga menegaskan komitmen untuk menjaga kelestarian Raja Ampat sebagai simbol pariwisata berkualitas berbasis konservasi. 

“Kami percaya bahwa kekuatan masa depan Raja Ampat ada pada kelestarian laut, budaya, dan masyarakatnya, maka inilah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya,” ujar Widiyanti saat bertemu Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu di Jakarta pada 4 Juni 2025. 

Kementerian Pariwisata telah mengambil tiga langkah strategis: kunjungan langsung ke Raja Ampat pada 28 Mei-1 Juni 2025 bersama DPR RI untuk menyerap aspirasi masyarakat adat, audiensi dengan gubernur, dan rapat koordinasi dengan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) pada 5 Juni 2025 untuk mendorong Raja Ampat sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berbasis pariwisata berkelanjutan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengawasi empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat: PT GAG Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. 

Hasil pengawasan menunjukkan pelanggaran serius, terutama oleh PT Anugerah Surya Pratama, perusahaan asal China, yang melakukan penambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan air limbah. KLHK telah memasang plang peringatan untuk menghentikan aktivitas tersebut.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan rencana untuk mengambil langkah hukum guna melindungi lingkungan dan pariwisata Raja Ampat. “Kami akan mengambil langkah tegas untuk memastikan tidak ada pelanggaran lingkungan yang membahayakan kawasan ini,” ujarnya pada 5 Juni 2025.