EmitenNews – Sempat tergerus sekitar 2,5 persen, Indeks harga saham gabungan (IHSG) akhirnya ditutup terkoreksi 111,132 poin (1,686 persen) ke level 6.478,543 pada penutupan perdagangan hari ini (06/02). Bursa Efek Indonesia (BEI) meyakini faktor dalam negeri mulai dari kinerja emiten sampai data makro ekonomi akan menjadi penopang di tengah kekhawatiran pasar global terutama bersumber dari Amerika Serikat (AS) saat ini. Direktur Utama BEI, Tito Sulistio, mengatakan yang terjadi pada situasi pasar global, termasuk di Indoneia saat ini hanya persepsi. Bersifat sementara dan bisa lebih cepat pulih jika dua faktor penunjang dari dalam negeri segera terealisasi. Dua faktor dimaksud Tito adalah, pertama, data makro ekonomi Indonesia yang sebenarnya sudah bisa terlihat. Laporan pertumbuhan ekonomi dalam negeri di kisaran 5,19 persen dan itu dinilai positif. Faktor kedua, emiten harus segera menyampaikan laporan keuangan penuh (full year) 2017. Sampai saat ini sudah ada sembilan emiten dengan kapitalisasi pasar besar (big cap) telah menyampaikan laporan keuangan akhir 2017. Catatan dari Sembilan emiten tersebut adalah pertumbuhan pendapatan rata rata 22,61 persen dan pertumbuhan laba bersih rata rata 14,75 persen. ”Kami hanya menghimbau kepada emiten-emiten untuk segera menyampaikan laporan keuangan guna menjaga kepercayaan investor,” sarannya. Tito meyakini hasil emiten lain di luar yang sudah menyampaikan laporan keuangan juga hasilnya positif. Terlebih harga komiditas juga membaik sehingga tidak ada alasan hasil akhir memburuk. ”Saya hanya katakan, jika hasil kinerja perusahaan emiten bagus dan ekonomi Indonesia bagus maka penurunan ini hanyalah persepsi sementara. Persepsi hanya sesaat. Fundamental kita masih bagus,” tegasnya. IHSG sendiri sepanjang Januari bergerak cukup baik dengan pertumbuhan sekitar 3,5 persen. Memang bukan yang terbaik karena Hong Kong, misalnya, bursanya tumbuh sekitar 9 persen, India lebih dari 5 persen, dan beberapa Negara lainnya. Tiba-tiba, dua hari terakhir pasar berubah arah. Merah hampir seluruhnya. ”Yang menarik, posisi kita di Asean growth-nya masih paling bagus. Turunnya paling kecil dibanding yang lain, bahkan sekarang kita nomor tiga (tertinggi) di dunia,” ungkapnya di gedung BEI, sore ini (06/01). Tito menyebut, ada semacam persepsi dan kesimpulan (judgement) dari para pelaku pasar. Indeks saham global merosot karena sentimen ketidakpastian ekonomi AS di masa depan. ”Kita pernah bicara ekonomi bagus, emiten bagus, persepsi buruk. Itu yang menjadi pertanyaan,” ucapnya. Diangkatnya Jeromy Powell sebagai pemimpin bank sentral AS, The Fed, seorang penganut bunga rendah dan berasal dari Wall Street, sempat mengangkat optimisme pasar. Selanjutnya, ternyata ada peningkatan yield obligasi sebanyak 2,75 persen bahkan tertinggi mencapai 2,8 persen. ”Katanya itu karena persepsi ketakutan pasar AS karena data ekonomi AS. Tenaga kerja naik, upah naik, padahal sebenarnya kalau tenaga kerja turun upah turun juga kan jelek. jadi intinya ini semua karena persepsi,” pikir Tito. Lalu bagaimana dengan investor asing? ”Faktanya kalau dilihat mereka stay (tidak pergi) dan saya cek memang benar mereka terus ada di sini. Take profit biasa. Saya melihatnya ini hanya persepsi. Karena kalau dilihat ekonomi Indonesia bagus, asing bagus, dan lain-lain, barang yang lebih mahal mereka jual?” jawabnya.