EmitenNews.com - Penyelidikan berlangsung sejak setahun lalu, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit dengan dana dari APBN di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Dalam kasus yang berpotensi merugikan keuangan negara sekitar Rp11,7 triliun itu, sedikitnya ada 11 debitur yang diperiksa.

Dalam keterangannya kepada pers, di Jakarta, Selasa (4/3/2025), Kepala Satgas Penyidik KPK Budi Sokmo mengatakan sejak Maret 2024 KPK melakukan penyelidikan terhadap kurang lebih 11 debitur yang mendapat kredit oleh LPEI. Total kredit yang diberikan dan menjadi potensi kerugian keuangan negara kurang lebih Rp11,7 triliun.

Pada Senin (3/3/2025), di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Budi Sokmo mengumumkan telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit dengan dana yang bersumber dari APBN di lingkungan LPEI. Dua orang dari pihak LPEI: Direktur Pelaksana 1 LPEI Wahyudi dan Direktur Pelaksana 4 LPEI Arif Setiawan.

Tiga tersangka dari pihak debitur PT Petro Energy (PE), yakni Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT Petro Energy Jimmy Masrin, Direktur Utama PT Petro Energy Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT Petro Energy Susi Mira Dewi Sugiarta.

Sebanyak 10 debitur lainnya masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut, untuk kemudian ditentukan status hukumnya. Siapa saja mereka, pada saatnya akan disampaikan. Yang jelas, 10 perusahaan tersebut bergerak dalam tiga sektor.

"Masih dalam proses pendalaman. Namun terkait sektornya kurang lebih adalah, ada di sektor perkebunan, kemudian di shipping, ada juga kemudian di industri terkait dengan energi. Jadi di tiga sektor itu," kata Budi.

Perkara tersebut mengemuka pada tahun 2015. Saat itu PT PE menerima kredit dari LPEI sebesar kurang lebih USD60 juta, atau sekitar Rp988,5 miliar.

Kredit tersebut diterima dalam tiga termin. Pertama pada 2 Oktober 2015 sekitar Rp297 miliar. Kedua, pada 19 Februari 2016 sebesar Rp400 miliar, dan pada 14 September 2017 sebesar Rp200 miliar.

Budi mengemukakan para direksi LPEI mengetahui bahwa current ratio PT PE di bawah 1 atau tepatnya 0,86. Artinya, pengeluaran perusahaan lebih besar dari pendapatan yang berpotensi membuat PT PE kesulitan membayar kredit dari PT LPEI itu.

Cerobohnya lagi, Direksi LPEI yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut juga tidak melakukan inspeksi terhadap jaminan atau agunan yang diberikan PT PE saat mengajukan proposal kredit.

Makin sembrono, karena PT PE juga membuat kontrak palsu, yang kemudian menjadi dasar mengajukan kredit kepada LPEI. Hal tersebut diketahui oleh direksi PT LPEI. Namun, keduanya bahkan membiarkan dan tidak melakukan evaluasi ketika pembayaran kredit termin pertama tidak lancar.

Para direktur LPEI tetap memberikan kredit kepada PT PE, walaupun kondisi tersebut sudah dilaporkan dari bawah, analis, bahwa sebenarnya PT PE tidak berhak mendapat top up sebesar Rp400 miliar dan Rp200 miliar setelah pengucuran yang pertama.

Semua masalah tersebut diabaikan oleh kedua direktur yang berwenang memberikan persetujuan terhadap dikeluarkannya kredit tersebut. Sebelum dilaksanakan pemberian kredit terjadi pertemuan antara direksi PT PE dan direksi LPEI. Dari situ, kata Budi, mereka bersepakat bahwa proses pemberian kredit akan dipermudah. ***