EmitenNews.com -Sejak awal tahun 2025, harga emas telah melonjak sebesar 27%, dan tren bullish ini tampaknya masih akan berlanjut di tengah krisis global yang tengah berlangsung. Bahkan dalam satu tahun kalender terakhir, kenaikannya mencapai 40%. Di krisis kemarin saat bursa saham dan kripto mengalami pelemahan, emas justru menunjukkan kekuatannya sebagai salah satu instrumen investasi paling tangguh. Masyarakat pun mulai berbondong-bondong menukar uang tunai mereka dengan logam mulia ini.

Pertanyaannya, apakah fenomena ini mencerminkan kesadaran bahwa emas merupakan instrumen investasi sekaligus pelindung aset dari inflasi? Ataukah ini sekadar fenomena FOMO (fear of missing out) tanpa pemahaman mendalam?

Jika menilik dari sejarah, uang kertas pertama kali digunakan pada masa Dinasti Tang sekitar abad ke-7 Masehi. Sebelum uang kertas tersebut digunakan sebagai alat tukar, emas merupakan alat tukar utama karena nilainya yang tetap dan stabil. Namun, karena emas yang tidak praktis dan kurangnya fleksibilitas dalam penggunaannya, dibuatlah uang kertas sebagai alat tukar baru dan lebih mudah dipecah dalam nilai yang lebih kecil. Sehingga, saat itu emas bukan lagi sebagai alat tukar, melainkan dijadikan underlayer saat pencetakan uang kertas.

Pada tahun 1944, muncul BrettonWoods System. Negara Amerika Serikat sebagai negara super power pemenang perang dunia dan negara yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia saat itu (60% cadangan emas dunia), dibuatlah kesepakatan bahwa dollar dijadikan acuan untuk sistem perdagangan dunia. Setiap dollar yang dicetak wajib dijamin dengan cadangan emas yang dimiliki Amerika, sehingga menumbuhkan kepercayaan global terhadap dollar.

Namun, pada tahun 1970 oleh Presiden Amerika Serikat saat itu Richard Nixon, sistem BrettonWoods dihapuskan. Hal ini terjadi dikarenakan peredaran mata uang dollar yang semakin tinggi, sehingga cadangan emas Amerika tidak lagi mampu menopangnya. Ditambah dollar juga digunakan sebagai cadangan devisa global, sehingga peredaran dollar semakin tinggi. Sejak saat itu lahirlah sistem mata uang fiat, sistem pencetakan uang kertas tanpa berbasiskan emas atau pun aset lainnya. Amerika bisa mencetak uang sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. Tak lama setelahnya, inflasi mulai melanda dan semakin membesar hingga saat ini.

Sebagai mata uang utama dunia dan alat tukar internasional, segala sesuatu yang terjadi pada ekonomi Amerika Serikat berdampak pada perekonomian global. Setiap kebijakan yang diputuskan oleh The Federal Reserve (The Fed) akan mempengaruhi perekonomian dunia. Dikarenakan ketergantungan negara-negara lain terhadap dollar sudah sangat tinggi. Contoh nyata adalah ketika terjadi market crash di awal April 2025 akibat kebijakan tarif dagang dari Donald Trump, bursa saham di berbagai negara langsung merespons negative, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia yang ikut anjlok.

Ketika pencetakan uang kertas terus berlangsung tanpa kontrol ketat ditambah tanpa underlayer emas, sementara jumlah emas di dunia tetap atau bahkan cenderung menurun, maka nilai emas secara alami akan naik. Dalam hukum ekonomi paling dasar, ketika permintaan naik sementara pasokan terbatas, harga akan melonjak. Ditambah lagi dengan laju inflasi yang terus menggerus daya beli mata uang. Di Indonesia, gejolak mulai terlihat paska pelantikan Presiden baru pada Oktober 2024. Berbagai kebijakan baru yang dianggap tidak memberi dampak signifikan, dan sejumlah pernyataan kontroversial dari pejabat publik membuat masyarakat geram Ditambah pelemahan nilai mata uang rupiah yang berakibat banyak investor asing menarik dananya dan menyebabkan IHSG tertekan.

Situasi ini membuat investor, baik investor besar maupun ritel mulai mengalihkan dana mereka ke emas fisik. Puncaknya saat momen lebaran kemarin, ketika banyak masyarakat menggunakan uang THR untuk membeli logam mulia satu ini. Permintaan yang tinggi menyebabkan lonjakan harga emas fisik, bahkan saham-saham di sektor pertambangan emas juga terdorong naik. Emiten seperti HRTA mencatat kenaikan hingga 90% dari awal tahun hingga akhir April 2025.

Lonjakan harga emas yang tinggi ini membuat terpecahnya dua sudut pandang di masyarakat. Sebagian orang mengatakan bahwa bukan emas lah yang mengalami kenaikan, melainkan mata uang kita yang semakin kehilangan daya belinya. Emas tidak berubah, nilai emas tetap sama, yang berubah adalah nilai uang yang kita pegang. Sedangkan sebagian yang lain menganggap emas memang merupakan instrumen investasi yang nilainya akan selalu mengalami kenaikan di masa mendatang.

Pada akhirnya, ini bisa ditarik dua kesimpulan sama seperti yang tersirat pada judul di atas. Yang pertama, bukan hal yang kebetulan apabila emas mengalami kenaikan harga dari waktu ke waktu, dikarenakan inflasi yang tidak terkendali akibat pencetakan uang kertas dalam jumlah besar tanpa underlayer apapun. Yang kedua, disaat bersamaan ini pertanda bahwa meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya investasi, khususnya pada instrumen yang lebih aman seperti emas.