EmitenNews - Pemerintah harus sigap mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru yang bisa membuat perekonomian nasional tetap melaju. Kebijakan yang ada harus mampu membuat ketidakpastian tetap menguntungkan Indonesia. Kondisi perekonomian global tahun ini bakal dipenuhi ketidakpastian, sehingga perlu diantisipasi dengan baik. “Untuk itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang bisa membuat perekonomian domestik tetap melaju,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara dialog bersama anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Menara Kadin, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (31/1/2019). Seperti kita ketahui Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) kembali memangkas proyek pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Langkah itu diambil tak lepas dari ketidakpastian yang masih menyelimuti dunia, salah satunya dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. JK mengatakan, dunia memang penuh ketidakpastian karena pertumbuhan ekonomi dua raksasa ekonomi dunia, Amerika dan China turun, disertai berubah-ubahnya harga komoditas. Diperlukan kerja keras untuk mengatasi berbagai hambatan ekonomi yang ada. Dengan begitu, pemerintah harus sigap mengambil kebijakan yang membuat perekonomian nasional tetap melaju. Ketika perang dagang AS-China berlangsung, perdagangan ekspor dari China ke AS melorot. Namun, untuk memenuhi permintaan domestiknya, AS sejatinya tetap membutuhkan sejumlah barang pengganti atau substitusi dari negara lain. Untuk itu, Indonesia harus bisa meningkatkan daya saing barang ekspor agar dapat mengisi kekosongan pasar akibat ketegangan dagang kedua negara. JK mengungkapkan, salah satu hal yang tengah dilakukan pemerintah untuk mengambil celah pasar tersebut, mempercepat penyelesaian hasil evaluasi kebijakan bebas tarif bea masuk untuk impor produk-produk tertentu (Generalized System of Preferences/GSP) dari AS. Saat yang bersamaan, pemerintah terus berusaha memperluas akses pasar ekspor ke beberapa negara lain. Selain itu, pemerintah berusaha meningkatkan daya saing barang ekspor dari Tanah Air dengan berbagai insentif pajak. Harapannya jelas, sejumlah keputuasn yang diambil itu, bisa membuat kinerja ekspor meningkat dan memperbaiki defisit neraca perdagangan. Selain itu, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik yang ditargetkan mencapai 5,3 persen. Dua krisis Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ekonomi Indonesia masih cukup tangguh. Itu terlihat dari ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi imbas krisis ekonomi yang melanda dunia pada 2009 dan belakangan ini. Lalu, tingkat pertumbuhan ekonomi, di tengah guncangan ekonomi global, masih berhasil tumbuh stabil di atas 5 persen. Kepada pers, di Jakarta, Rabu (30/1/2019), Menteri Sri Mulyani menambahkan, cerminan ketangguhan juga bisa terlihat dari tingkat investasi yang masih tumbuh sekitar 6,9 persen. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, menceritakan Indonesia berhasil dengan ketangguhannya di tengah perekonomian global yang merosot. Menurut Sri Mulyani, setelah 10 tahun berlalu dari krisis global, pemerintah mampu mengelola sisi permintaan. Termasuk sisi konsumsi rumah tangga yang tumbuh di atas 5 persen dan pertumbuhan investasi yang baik 6,9 persen dan akan pulih ke 7 persen. “Indonesia berhasil dengan ketangguhannya.” Sejarah mencatat, Indonesia pernah dihantam krisis yang mengguncang perekonomian domestik. Krisis pertama 1997/1998. Saat itu, peronomian Indonesia terimbas krisis global, yang membuat nilai tukar rupiah anjlok sampai ke level Rp17 ribu dan inflasi melesat ke level 77,63 persen. Krisis selanjutnya 2008/2009, yang sempat menguncang stabilitas perbankan. Bagusnya, krisis ekonomi itu, menurut Sri Mulyani, tak sampai menjalar kemana-mana. "Tantangan terbesar dalam hal politik hukum ekonomi terbesar adalah krisis finansial." Sri Mulyani mengatakan ketangguhan ekonomi tercipta dari kebijakan yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi. Kebijakan yang ada, tetap mempertahankan stabilitas pertumbuhan konsumsi dan investasi. Itu dilakukan dengan koordinasi antara pemerintah sebagai otoritas fiskal, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, dan Otoritas Jasa Keuangan. ***