EmitenNews - Nilai tukar Rupiah pada 17 Maret 2021 tercatat melemah 2,20 persen secara rerata dan 1,16 persen secara point to point dibandingkan dengan level Februari 2021.


"Pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut dipengaruhi oleh kenaikan yield US Treasury (UST) dan menguatnya dolar AS yang kemudian menahan aliran masuk investasi portofolio asing ke pasar keuangan domestik," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI (RDG BI) yang dilakukan secara daring, Kamis (18/3/2021).


Dengan perkembangan ini, Rupiah sampai dengan 17 Maret 2021 mencatat depresiasi sekitar 2,62 persen dibandingkan dengan level akhir 2020. Relatif lebih rendah dari sejumlah negara emerging lain seperti Brazil, Meksiko, Korea Selatan, dan Thailand. Perry menegaskan pihaknya terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar.


Terkait inflasi, BI mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2021 sebesar 0,10 persen (mtm) atau 1,38 persen (yoy). "Inflasi inti tetap rendah sejalan dengan pengaruh permintaan domestik yang belum kuat, stabilitas nilai tukar yang terjaga, dan konsistensi kebijakan BI dalam mengarahkan ekspektasi inflasi pada kisaran target," jelasnya.


Inflasi kelompok volatile food melambat seiring pasokan domestik yang meningkat dan permintaan yang belum kuat. Sementara inflasi kelompok administered prices meningkat didorong kenaikan tarif di beberapa ruas jalan tol dan kenaikan tarif angkutan udara beberapa maskapai penerbangan.


BI memperkirakan inflasi pada tahun 2021 tetap terkendali dalam sasaran 3,0 persen ±1 persen. Ke depan, Otoritas Moneter akan menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah melalui Tim Pengendali Inflasi (TPI dan TPID), guna mengendalikan inflasi IHK sesuai kisaran targetnya.


Defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap rendah, didorong oleh surplus neraca barang yang berlanjut. Sedangkan neraca perdagangan Februari 2021 tercatat mengalami surplus sebesar USD2,00 miliar, melanjutkan surplus pada bulan sebelumnya sebesar USD1,96 miliar.


"Kinerja positif tersebut dipengaruhi oleh ekspor yang kembali mencatat kenaikan sebesar 8,56 persen (yoy), terutama ditopang oleh permintaan dari Tiongkok, AS, dan Jepang, serta kenaikan harga komoditas dunia, di tengah berlanjutnya perbaikan impor," jelas Perry.


Selain sejumlah komoditas manufaktur, peningkatan nilai ekspor juga tercatat pada sejumlah komoditas primer seperti CPO dan batu bara.


Ia menyebut aliran masuk investasi portofolio asing ke pasar keuangan domestik relatif tertahan, seiring ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat. Hal ini tercermin dari investasi portofolio yang mencatat net outflow sebesar USD1,57 miliar pada Maret 2021 (hingga 16 Maret), setelah sebelumnya mencatat net inflow sebesar USD7,14 miliar pada periode Januari-Februari 2021.


Posisi cadangan devisa akhir Februari 2021 tercatat sebesar USD138,8 miliar, setara dengan pembiayaan 10,5 bulan impor atau 10,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.


"Ke depan, defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap rendah yaitu sekitar 1-2 persen dari PDB pada tahun 2021, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia," katanya.(*)