EmitenNews.com - Tito Sulistio tidak bisa menutupi kegusarannya soal keberadaan kantor pusat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Direktur Utama Bursa Efek Indonesia 2015-2018 itu, mengungkapkan belum bisa dipahami mengapa mayoritas BUMN berkantor pusat di Jakarta. Tidak Ada argumen atau penjelasan rasional mengapa BUMN harus punya kantor operasi di Jakarta, yang jauh dari wilayah operasionalnya.


“Mengapa para direksi BUMN harus berkantor pusat di Jakarta. Jauh dari pabrik, jauh dari tambangnya. Jauh dari pusat operasi. Jauh dari pasar. Bahkan jauh dari pegawai yang harus diayomi setiap hari,” kata Tito Sulistio dalam pernyataannya kepada EmitenNews, Senin (22/5/2023).


Seyogyanya kantor BUMN berada di wilayah kerjanya, di daerah yang menjadi pusat operasional bisnisnya. Dengan adanya entitas bisnis yang besar di daerah diharapkan mendorong desentralisasi sumber daya manusia yang unggul ke daerah. Sumber daya yang selama ini lari ke Jakarta dapat ditahan oleh daerah karena terdapat tantangan dan kesempatan kerja yang setara.


Dalam pandangan Tito Sulistio, tidak ada alasan bagi BUMN untuk kembali memfungsikan diri sebagai ‘Agent of Development’ dan mengurangi fungsi komersialnya yang mampu dilakukan pihak swasta.


Dengan semangat itu, Tito Sulistio berpendapat, perlu keberanian bertindak dan memerintahkan BUMN yang selama ini merajalela di ibukota, bergaul, dan bersentuhan langsung dengan pusat kekuasaan, dipindahkan secara fisik ke daerah. Ia menilai, BUMN harus menjadi ujung tombak pemberdayaan ekonomi daerah yang memang tidak mempunyai dan membutuhkan entitas bisnis besar untuk menggali keunggulan komparatifnya.


Ini bukan yang pertama Tito Sulistio mengungkapkan pandangannya soal pentingnya BUMN berada di daerah. Lebih dari tiga tahun lalu, pada sebuah kesempatan, ia menyatakan, BUMN harus berada dekat dengan pusat operasionalnya, sejalan dengan tuntutan agar perusahaan pelat merah terus bergerak mengikuti kaidah dan prinsip bisnis modern, dan tetap efisien. BUMN yang memang pada dasarnya mencari profit atau keuntungan juga harus tunduk dan patuh pada tujuan-tujuan bernegara.


Salah satu tujuan bernegara dalam UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Artinya, memajukan pemerataan ekonomi di berbagai daerah, memajukan kesejahteraan umum, dan menjadikan swasta sebagai partner dan bukan pesaing.


Karena itulah, Tito Sulistio mempertanyakan, mengapa banyak BUMN yang memilih berkantor pusat di Jakarta. Padahal, siapa pun tidak dapat menjamin, dengan keberadaan kantor pusat di Ibu Kota menjadikan Perseroan tersebut berkembang bahkan mampu disulap menjadi perusahaan multinasional.


Mengapa misalnya BUMN seperti Pupuk Kaltim, yang material dasarnya di Kalimantan, pabriknya di Kalimantan, pasarnya terutama di Kalimantan, harus mempunyai kantor yang cukup mewah di Jakarta? Apakah artinya para Direksi dan Petinggi BUMN ingin selalu dekat dengan kekuasaan dan bukannya berinteraksi mengayomi pegawai dan mengawasi kerja operasional hari ke hari Perseroan?.


Sangat aneh jika semua operasi teknis perseroan berlokasi di luar Jakarta, tetapi fisik para pengelolanya berada dan dibiayai dengan mahal untuk menikmati harumnya kekuasaan di Jakarta. BUMN seharusnya dapat menjadi lokomotif pembangunan daerah. BUMN memiliki posisi tawar tinggi terhadap disinsentif usaha dan efektif sebagai alat untuk mentransformasi kebijakan pemerintah yang terkadang sulit diimplementasikan di lapangan.


Yang tidak kalah pentingnya, BUMN juga seharusnya mampu menciptakan stimulan yang dapat membangun infrastruktur di daerah, termasuk sarana pendidikan dan sentra ekonomi lainnya. Dengan BUMN lebih terfokus, pindah dan berkonsentrasi di daerah diharapkan terjadi multiplier efek yang mampu meningkatkan size perekonomian daerah. Baik melalui accumulated creating capital maupun efek ikutan dari pelaku usaha swasta yang masuk setelah risiko mulai menurun.


Ada contoh bagus mengenai perusahaan rokok Gudang Garam, swasta nasional yang dapat menggerakkan perekonomian daerah, tepatnya di Kota Kediri, Jawa Timur, yang kemudian berefek ke tingkat nasional. Jika BUMN bisa seperti itu Gudang Garam, maka clustering industry di Indonesia dapat terbentuk.


Bagi Tito Sulistio, semua itu soal keberpihakan dan wawasan ke depan. Bagaimana agar pertumbuhan ekonomi dapat merata di seluruh nusantara menggunakan bisnis dan aset negara sebagai instrumen pemerataan, di sinilah pentingnya peran BUMN.


Bayangkanlah jika Direksi Rajawali Nusantara Indonesia dan keluarganya, misalnya, diwajibkan berkantor dan bekerja di dekat pabrik Jawa Tengah, Pupuk Kaltim ke Kalimantan, Angakasa Pura 1 ke Bali, Bukit Asam ke Sumatera selatan, Pertamina ke Riau, BNI ke Sumatera Utara dan seterusnya. Itu berarti semua pegawai inti yang profesional, berpendidikan, dan mapan, pindah ke daerah membawa keluarga, itu berarti membawa pindah kemakmuran yang mereka miliki. Dengan begitu, clustering pupuk akan terbentuk di Kalimantan, clustering minyak di Riau, seperti clustering kerajinan yang telah terbentuk di Bali.


Akibat langsungnya, semua pemasok utama akan pindah, sekolah sebagai penunjang otomatis berdiri atau menyempurnakan diri, sentra perekonomian akan bergerak. Yang menarik, akan terjadi interaksi antarkomponen bangsa yang tadinya tidak saling mengenal, bakal terbentuk komunitas profesional, para ahli di bidangnya, di daerah masing-masing. Setelah itu, disintegrasi bangsa akan minimal dan kluster industri secara strategis akan terbentuk.


Yang menjadi keresahan seorang Tito Sulistio ini menarik didengar. Semoga saja bakal menjadi perhatian pemerintah, atau Menteri BUMN Erick Thohir, sosok muda yang sangat peduli pada peningkatan kualitas SDM, syukur-syukur bisa ditindaklanjuti dengan baik. ***