EmitenNews.com - ADA warung kopi baru, tetapi sesungguhnya stok lama, Warkop Phoenampungan. Selain tempat seruput kopi dan mengolah biji-biji  kopi, juga menjadi ruang mengolah kata. Sesuai mottonya: “Mengolah seperlunya, minum kopi secukupnya, bersahabat selamanya.” Tulisannya cukup besar di pojok dinding dekat pintu masuk.

“Terus terang saya termasuk salahsatu korban mengolah kata-kata,” ungkap Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo tersenyum disambut riuh tawa pengunjung warkop saat memberikan sambutan launching opening warkop yang sebelumnya bernama Warkop Phoenam, Minggu (1/12/2024) pagi. 

Hadir juga Dzulfikar Ahmadi Tawalla, Wamen Perlindungan PMI, Sekjen Partai Golkar Sarmudji, anggota DPR Dhave Laksono, Nurdin Halid, anggota DPD Waris Halid. Lainnya, anggota DPR periode lalu Supriansa, Ustaz Das’ad Latif, Jubir JK Husain “Uceng” Abdullah, Ketua Gapensi A.Rukman Nurdin dan tamu lainnya.

Warung kopi Phoenampungan berlokasi di pusat kota Jakarta. Jalan Wahid Hasyim dibagian timur, tak jauh dari bundaran Tugu Tani. Dari stasiun kereta komuter Gondangdia Menteng, saya jalan kaki 10 menit nyampe.

Mas menteri Dito menceritakan, suatu ketika sebulan sebelum pelantikan kabinet merah putih dirinya bertemu sejumlah mantan aktivis mahasiswa dan pergerakan asal Makassar di sebuah café di Menteng Jakarta. 

“Kalian gak nongkrong di Phoenam lagi”?” tanya mas menteri. 

Phoenam adalah nama warkop legendaris asal Makassar di Jalan Wahid Hasyim. Warga perantau atau diaspora asal Makassar dan Sulawesi Selatan, di Jakarta sudah familiar dengan warkop cita rasa kopi dan roti kaya yang khas itu. 

“Sudah tutup” jawab Risman Pasigai yang lagi bersama Abdul Razak “Acha” Said dan kawan-kawan.        

“Gimana kalau kita buka kembali?” usul mas menteri spontan. 

Dito orang Jawa beristri orang Makassar. Mertuanya anda sudah tahu, pemilik travel haji dan umroh Maktour; Fuad Hasan Masyhur, pengusaha yang juga politikus Partai Golkar, seperti Menpora Dito Ariotedjo.   

Ibarat gayung bersambut. Tanpa basa-basi Risman dkk langsung menyodorkan proposal proses akuisisi yang sebenarnya sudah lama mereka rencanakan. Termasuk biaya sewa tempat lima tahun. Hanya terkendala dana. 

Ups…mas menteri terkejut bercampur surprise. Barusan ia mengusulkan sudah ada proposalnya. Ia tak menyangka idenya direspon begitu cepat. Apalagi para koleganya sesama aktivis saat di AMPI dulu memaknai kata “kita” mas menteri sebagai kami, atau saya dan anda secara bersama-sama. 

“Kami sengaja mengajak mas menteri ikut bersama mewujudkan impian itu. Kalau bukan mas menteri yang bantu siapa lagi?” kata mereka dengan wajah saromase. Istilah bahasa Bugis pandai mengambil hati orang lain.     

Diam-diam Wamen Dzulfikar juga menyimpan kenangan unik “mengolah kata” ala warkop saat itu bernama Phoenam. Masih di Jalan Wahid Hasyim. Samping kantor bank BCA. Ketika itu pertama kali ia injak warkop Phoenam Jakarta karena diajak Indar “Daeng Beta” Parawansa, almarhum suami Gubernur Jatim Khofifah.

“Kalau kita dipanggil kanda atau dinda, masih aman. Tapi kapan sudah disapa “Bosku” maka waspada (tagihan bill membengkak),” kelakarnya memecah riuh tawa pengunjung hari itu.      

“Phoenampungan” merupakan penggabungan kata phoenam dan tampung. Merujuk makna tempat penampungan. Sengaja memakai ejaan “Phoenam” sekedar mengingatkan kembali kenangan warkop Phoenam sebelumnya di lokasi yang sama.  

Menampung siapa? “Siapa saja yang transit. Di sela-sela waktu urusan kerjaan dan bisnis, atau saudara kita dari Makassar yang berkunjung ke Jakarta,” kata Abdul Razak Said, salah seorang inisiator dan owner warkop itu.