EmitenNews.com -  Data RDG BI Desember 2025 memperlihatkan sebuah fenomena "Kanibalisasi Moneter". Meskipun terdapat guyuran insentif KLM sebesar Rp177,1 triliun untuk bank-bank pelat merah, mekanisme transmisi kreditnya tidak mengalir ke bawah, melainkan berputar di atas.

BBRI: Sang Raja Mikro dalam Ironi

BBRI berada dalam posisi paling dilematis sebagai pemegang mandat utama sektor UMKM. Sebagai penerima porsi KLM terbesar, BBRI menghadapi kenyataan pahit sektor UMKM yang sedang terkontraksi -0,64%. Menyalurkan dana dalam kondisi ini berisiko tinggi terhadap NPL, sehingga BBRI terpaksa menjadikan SRBI sebagai benteng pertahanan. Laba BBRI di 2026 kemungkinan tetap solid, namun ironisnya, sumber laba tersebut bergeser dari produktivitas rakyat ke kupon instrumen moneter BI.

BMRI: Arbitrase Imbal Hasil dalam Efisiensi

Bank Mandiri (BMRI) menjalankan strategi yang lebih oportunistik. Sebagai bank dengan efisiensi (BOPO) terendah, BMRI memanfaatkan likuiditas KLM sebagai bahan bakar "Arbitrase Imbal Hasil". Alih-alih mencari debitur korporasi baru di tengah pelambatan ekonomi, BMRI memilih memutar dana ke SRBI untuk memanen yield spread. Hal ini menjaga NIM tetap kokoh di level 4,57%, namun mencerminkan pertumbuhan bisnis riil yang "malas" karena bergantung pada pendapatan bunga dari bank sentral.

BBNI: Jaring Pengaman di Tengah Transformasi

BBNI menunjukkan sikap paling konservatif dengan tumpukan aset likuid (AL/DPK) mencapai hampir 30%. Bagi BBNI, insentif 177 triliun rupiah tersebut bukan amunisi akselerasi, melainkan sekadar safety net di tengah pembersihan portofolio kredit. Strategi "bermain aman" ini membuat BBNI resilien namun kehilangan taringnya sebagai katalisator ekonomi riil di tahun 2026.

Waspadai Risiko "Lazy Banking"

Secara kolektif, Himbara telah melakukan de-risking masif dengan menyimpan insentif publik ke dalam brankas instrumen bebas risiko. Jika perbankan pemerintah terus melakukan "Lazy Banking" dengan menyerap SRBI secara agresif, ekonomi riil terancam kekeringan likuiditas berkepanjangan. Investor disarankan untuk fokus pada emiten yang memiliki porsi non-interest income kuat dan tidak sekadar bergantung pada "subsidi" instrumen moneter BI.

Bocoran Payout Ratio dari Laba SRBI

Meskipun fungsi intermediasi perbankan sedang mengalami tantangan dengan pertumbuhan kredit UMKM yang terkontraksi minus 0,64%, laba bersih Bank Himbara diprediksi tetap mencetak rekor baru di tahun buku 2025. Fenomena "Kanibalisasi Moneter" di mana bank memarkir dana KLN sebesar Rp177,1 triliun ke instrumen SRBI justru menjadi penyelamat margin. Hal ini memberikan kepastian bagi pemerintah selaku pemegang saham mayoritas untuk tetap menuntut dividen tinggi guna menambal defisit APBN 2026.

Bank BRI sebagai bank dengan porsi kepemilikan ritel dan pemerintah yang sangat besar, BBRI diperkirakan akan mempertahankan Dividend Payout Ratio (DPR) di rentang 80% hingga 85%. Meskipun ekspansi mikro melambat, pendapatan dari penempatan dana di SRBI dan surat berharga lainnya menjaga bottom line tetap tebal. Estimasi dividen per saham (DPS) diproyeksikan berada di kisaran Rp300 - Rp325, memberikan yield yang sangat kompetitif bagi investor jangka panjang.

BMRI yang sukses memaksimalkan yield spread melalui arbitrase SRBI diprediksi akan memberikan kejutan pada rasio pembagian dividennya. Dengan NIM yang kokoh di level 4,57%, BMRI memiliki ruang likuiditas yang sangat longgar. Proyeksi DPR berada di kisaran 60% - 65% dengan estimasi DPS yang berpotensi tumbuh dua digit dibandingkan tahun sebelumnya, menjadikannya favorit bagi investor institusi.

Sementara itu, BBNI saat ini memiliki tingkat AL/DPK hampir 30% sedang duduk di atas tumpukan kas yang luar biasa besar. Strategi "bermain aman" ini justru menguntungkan dari sisi dividen, karena risiko NPL yang rendah berarti beban provisi yang lebih kecil. BBNI diperkirakan akan melanjutkan tren dividen progresif dengan payout ratio sekitar 50%, sebagai bentuk apresiasi terhadap pemegang saham di tengah fase pembersihan portofolio.

Investor Sebaiknya Fokus pada "Cash Flow", Bukan Hanya Pertumbuhan

Tahun 2026 akan menjadi tahun di mana investor saham perbankan lebih menghargai "kepastian kas" daripada "janji pertumbuhan kredit". Selama perbankan Himbara mampu mengonversi insentif moneter menjadi laba bersih melalui instrumen bebas risiko, maka narasi dividen jumbo akan tetap terjaga. Investor disarankan untuk memperhatikan tanggal Cum Date di kuartal pertama 2026 untuk mengamankan hak atas laba yang dihasilkan dari strategi "Lazy Banking" ini.

Disclaimer: Tulisan ini bukan ajakan jual/beli, tapi bahan diskusi biar lo makin pinter atur strategi. Do Your Own Research (DYOR)!