EmitenNews.com - Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap latar belakang Pemerintah menetapkan kebijakan larangan ekspor bauksit yang akan berlaku mulai Juni 2023. Mengingat sebagian besar kebutuhan alumina masih impor, pembangunan smelter di dalam negeri menjadi prospek yang menjanjikan.
Untuk mendorong percepatan pembangunan smelter, Pemerintah akan mengidentifikasi dan merumuskan dukungan kebijakan terutama yang terkait dengan kebijakan insentif fiskal.
“Karena memang harga bauksit itu relatif rendah, di bawah 60 dollar. Tetapi kalau dia sudah menjadi aluminium bisa di atas 2.300 dollar. Jadi nilai tambahnya luar biasa. Dan kedua, Pemerintah menyadari bahwa sebagian daripada eksportir itu melakukan investasi yang tidak sepenuhnya direalisasikan,” ungkap Airlangga seperti dilansir di laman Kementerian.
Sebelumnya ia menyampaikan menghadapi prediksi kondisi perekonomian global di tahun 2023 yang penuh dengan ketidakpastian pemerintah tetap optimis, waspada, dan antisipatif. Pemerintah juga menyiapkan berbagai strategi dan kebijakan agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% (yoy) di tahun 2023 dapat tercapai.
“Kalau kita bicara global, memang global masih ada awan hitam. Bahkan Managing Director IMF mengatakan Indonesia adalah the bright sight in the dark. Karena kita punya resiliensi selama penanganan pandemi covid, tentu kita juga berharap punya resiliensi untuk di tahun 2023 ini,” ujarnya di acara CNBC Prime Words Indonesia, Rabu (18/01).
Dari sisi manufaktur, PMI Manufaktur Indonesia masih berada di level ekspansif mencapai 50,9 di bulan Desember 2022 atau berhasil naik dibandingkan bulan November 2022 yang tercatat sebesar 50,3. Untuk menjaga kinerja sektor manufaktur, Menko Airlangga mengatakan bahwa Pemerintah perlu optimis, tetap menjaga demand, serta melakukan tindak lanjut hilirisasi dan pengembangan ekosistem di sektor manufaktur.
Sedangkan dari sektor riil, Pemerintah akan meningkatkan kinerja industri berorientasi ekspor yang semakin berdaya saing. Saat ini terdapat tiga primadona ekspor Indonesia yakni nikel, kelapa sawit dan turunannya, serta batubara.
Airlangga sempat menyinggung mengenai ketetapan lama periode menahan valas dan sanksi Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diatur dalam PBI Nomor 21/14/PBI/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor dan PP Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
“Kalau devisanya parkir di negara sendiri, kayak Thailand itu mewajibkan 3 bulan, nah itu akan memperkuat cadangan devisa kita dan akan memperkuat kurs rupiah," jelasnya.
Inilah yang menurutnya diperlukan di tahun 2023. Dengan ekspor yang baik, pemerintah berharap dolarnya kembali ke dalam negeri dengan menetapkan suku bunga tertentu dari sistem perbankan yang ditopang oleh BI.
"Memang ada permintaan BI, PP 1-nya terkait dengan devisa ini direvisi. Nah kami sedang mempersiapkan itu,” tandas Airlangga.(fj)
Related News
IHSG Akhir Pekan Ditutup Naik 0,77 Persen, Telisik Detailnya
BKPM: Capai Pertumbuhan 8 Persen Butuh Investasi Rp13.528 Triliun
Hati-hati! Dua Saham Ini Dalam Pengawasan BEI
BTN Raih Predikat Tertinggi Green Building
IHSG Naik 0,82 Persen di Sesi I, GOTO, BRIS, UNVR Top Gainers LQ45
Perkuat Industri Tekstil, Wamenkeu Anggito Serap Aspirasi Pengusaha