“Cost financing yang lebih tinggi ini pada akhirnya justru malah menganggu pemulihan ekonomi,” tegasnya.


Dia mencontohkan adanya perdebatan mengenai apakah suatu utang dapat dibuktikan secara sederhana, di mana persoalan ini menjadi salah satu poin yang banyak diperdebatkan dalam pengajuan permohonan pailit maupun PKPU.


Selanjutnya, kata Andi, UU No. 37/2004 sejatinya sudah mengatur bahwa klausul arbitrase yang disebut dalam perjanjian tidak menghilangkan kewenangan pengadilan niaga untuk memeriksanya, Namun, yang terjadi, katanya, justru klausul arbitrase dipakai untuk menyatakan bahwa pengadilan niaga tidak berwenang.


“Yang terjadi sekarang ini justru malah sebuah kemunduran karena sebenarnya pasal tersebut diatur agar tidak memicu terjadi perdebatan.”


Berikutnya menyangkut soal perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing apakah masih bisa atau tidak mengajukan permohonan pailit atau PKPU di Indonesia.


“Ini seringkali tidak konsisten. Padahal justru pengadilan niaga seharusnya menerima karena pengadilan niaga tidak bisa memeriksa itu akan menjadikan semua perkara perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing itu penyelesaiannya dibawa ke luar. Itu kan sebenarnya tidak bagus juga buat perkembangan hukum Indonesia,” jelasnya.


Apalagi, ada kecenderungan bahwa UU, yang semangat dan tujuannya adalah restrukturisasi dan perdamaian, kini seringkali dijadikan sebagai alat untuk menagih utang atau bertolak belakang dengan restrukturisasi. Hal yang seringkali menimpa swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN).


Pendiri  Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), yang juga Pengajar di Fakultas Hukum UI dan Anggota Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung, Aria Suyudi mengungkapkan sejak berlakunya UU No. 37/2004, PKPU seringkali dijadikan sarana yang paling mudah untuk menagih utang, alih-alih melakukan perdamaian atau restrukturisasi.


Aria mengungkapkan ada kecederungan prosedur kepailitan dan PKPU dieksploitasi sebagai strategi dispute, padahal tidak memenuhi kategori syarat pernyataan kepailitan. “Itu menjadikan kepailitan dan PKPU tidak berjalan sesuai dengan fungsi seharusnya.”


Lahir dari Krisis

Adapun, UU Kepailitan dan PKPU memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian suatu negara. UU Kepailitan di Indonesia sendiri lahir akibat krisis moneter pada 1997-1998.


Persoalan penyelesaian utang piutang perusahaan saat terjadinya gejolak moneter pada masa itu menjadi persoalan mendesak yang harus segera diselesaikan.


Debitur maupun kreditur membutuhkan kepastian penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus untuk menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa di bidang kepailitan dan PKPU.


Untuk itu kemudian ditetapkanlah Perppu No. 1/1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada 22 April 1998, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4/1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) pada 9 September 1998.


Enam tahun kemudian, karena adanya sejumlah kelemahan, UU No. 4/1998 dicabut dan direvisi menjadi UU No. 37/2004 yang berlaku hingga kini.


Berumur hampir dua dekade atau tepatnya 19 tahun, UU No. 37/2004 tentu butuh sejumlah penyesuaian dan penguatan berdasarkan kondisi dan situasi terkininya sejalan dengan perekonomian yang bergerak dinamis. (***)