EmitenNews.com -Pada hari Selasa, 18 Maret 2025, pasar saham Indonesia mengalami goncangan besar dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 6,12% atau 395,86 poin. Pada sesi pertama perdagangan, IHSG sempat menyentuh level terendahnya di 6.076,08 yang kemudian memicu penghentian sementara atau trading halt oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Keputusan tersebut diambil sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 yang mengatur mekanisme penghentian perdagangan dalam kondisi darurat apabila terjadi penurunan IHSG sebesar 5% atau lebih dalam satu sesi perdagangan.

Setelah dibuka kembali pada sesi kedua, IHSG berhasil mengalami sedikit pemulihan, ditutup pada level 6.223,39 atau masih mengalami pelemahan sebesar 3,84% dibandingkan hari sebelumnya. Sepanjang perdagangan tersebut, investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga Rp 2,48 triliun. Secara harian, nilai outflow ini melampui yang terjadi pada 6 Februari lalu sebesar Rp 2,33 triliun dan hampir setara dengan net sell asing saat cut off perubahan rebalancing dari Morgan Stanley Capital International (MSCI) yang mencapai Rp 2,91 triliun di keseluruhan pasar saham. Jika dihitung sejak awal tahun, total dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia telah mencapai Rp 29,41 triliun!

Selain itu, porsi kepemilikan institusi asing terhadap kapitalisasi pasar IHSG juga mengalami penurunan. Data per Januari 2025 menunjukkan bahwa porsi kepemilikan asing hanya 2,9% yang merupakan level terendah sejak 2011. Fenomena ini mencerminkan berkurangnya minat investor global terhadap pasar saham Indonesia. 

Anjloknya IHSG pada hari tersebut menjadi sorotan karena terjadi di tengah penguatan bursa saham regional Asia lainnya. Indeks saham utama di Jepang (Nikkei) mengalami kenaikan sebesar 1,20%, Shanghai Composite di Tiongkok naik 0,11%, Hang Seng di Hongkong naik 0,11%, Indeks HNX Vietnam mengalami kenaikan tipis 0,11%, SET 50 di Thailand menguat 0,85%, dan Bursa Malaysia (KLSE) menguat 1,04%.

Pelemahan pasar saham yang cukup signifikan ini mengindikasikan bahwa investor tengah mencemaskan kondisi ekonomi nasional serta stabilitas pasar keuangan di Indonesia. Beberapa indikator ekonomi memperlihatkan adanya perlambatan ekonomi yang mempengaruhi kepercayaan investor, seperti terjadinya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Per Februari 2025, APBN mengalami defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau setara dengan 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, target defisit tahunan adalah Rp 616,2 triliun atau 2,53% dari PDB. Defisit yang terus melebar menunjukkan tekanan terhadap anggaran pemerintah dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Selain itu, terjadinya penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Februari 2025 tercatat berada di angka 126,4 yang merupakan level terendah dalam tiga bulan terakhir. Rasio tabungan masyarakat juga mengalami penurunan ke level 14,7%, yang merupakan posisi terendah sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2021. Sebaliknya, proporsi pendapatan yang dibelanjakan meningkat menjadi 74,7%, yang menandakan bahwa masyarakat mulai mengalami kesulitan dalam menyisihkan pendapatan untuk tabungan. Tentunya hal ini membuat daya beli masyakarat melemah dan terjadinya peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK). Beberapa perusahaan besar mengumumkan rencana penutupan pabriknya pada tahun 2025, termasuk pabrik Yamaha dan PT Sanken Indonesia. Selain itu, sepanjang tahun 2024, sebanyak 77.965 pekerja telah terdampak PHK, yang semakin menekan daya beli masyarakat.

Kelesuan ekonomi juga tercermin dari total penerimaan pajak yang mengalami penurunan drastis sebesar 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/Y0Y). Belum lagi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang mencerminkan pendapatan pekerja juga mengalami kontraksi, hanya mencapai Rp 26,3 triliun atau turun 39,5% YoY, yang menunjukkan tekanan terhadap pendapatan masyarakat. Indeks Penjualan Riil (IPR) juga mengalami penurunan sebesar 0,5% secara tahunan yang berada di angka 213,2 yang mengindikasikan daya beli masyarakat sedang tertekan.

Pelemahan pasar saham dan berbagai indikator ekonomi yang kurang menggembirakan menimbulkan kekhawatiran bahwa ekonomi Indonesia dapat mengalami tekanan lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang. Sentimen negatif yang berkembang di pasar modal bisa memicu aksi jual lebih lanjut dari investor domestik maupun asing. Seperti diketahui, ketidakstabilan pasar saham dapat berdampak sistemik terhadap sektor keuangan, seperti sektor perbankan, investasi dan industri keuangan lainnya. Jika harga saham turun drastis, hal ini dapat menyebabkan kepanikan di kalangan investor dan memperburuk kondisi likuiditas pasar. Dalam kasus ekstrem, volatilitas tinggi dapat memicu krisis keuangan yang lebih luas, seperti yang terjadi pada krisis keuangan global tahun 2008, yang berawal dari kejatuhan pasar properti dan perbankan di Amerika Serikat. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa intervensi yang tepat, maka risiko sistemik dapat semakin meluas dan mengancam stabilitas ekonomi nasional.

Untuk menstabilkan pasar keuangan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu mengambil langkah-langkah strategis, seperti meningkatkan stimulus fiskal, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan mendorong investasi di sektor riil. Di sisi lain, pelaku pasar diharapkan tetap berhati-hati dalam menghadapi volatilitas yang tinggi dan mempertimbangkan langkah-langkah mitigasi risiko dalam portofolio investasi mereka.

Meskipun kondisi saat ini masih menantang, pemulihan ekonomi tetap memungkinkan apabila ada kebijakan yang tepat dan kepercayaan investor dapat dipulihkan. Oleh karena itu, perkembangan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi kunci dalam menentukan arah pasar saham dan stabilitas keuangan Indonesia.