Inflasi Makin Jinak, Tapi Harga Gak Kunjung Turun: Kenapa Bisa Begitu?

ilustrasi inflasi dan kebijakan BI.DOK/EmitenNews
EmitenNews.com -Beberapa bulan terakhir, inflasi Indonesia menunjukkan tren penurunan. Data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka inflasi tahunan terus melandai, bahkan sempat menyentuh level di bawah 3%. Pemerintah dan Bank Indonesia menyambut hal ini sebagai sinyal positif: stabilitas harga membaik, ekonomi relatif terkendali. Tapi di lapangan, banyak masyarakat merasa kenyataan tak seindah data. Harga barang pokok tetap tinggi. Makan di luar makin mahal. Ongkos transportasi belum turun.
Pertanyaannya: kalau inflasi turun, kenapa harga-harga masih terasa berat?
Memahami Inflasi: Bukan Soal Harga Turun, Tapi Kenaikannya Melambat
Kesalahpahaman utama yang sering terjadi adalah anggapan bahwa saat inflasi turun, harga barang juga ikut turun. Padahal, secara teknis, inflasi mengukur laju kenaikan harga—bukan penurunan. Ketika inflasi melambat, itu artinya harga barang masih naik, hanya saja kenaikannya tidak secepat sebelumnya. Contohnya, jika tahun lalu harga cabai naik 15% dan tahun ini hanya naik 3%, maka inflasi memang turun. Tapi harga cabai tetap naik, bukan kembali ke harga tahun lalu. Jadi, penurunan inflasi berarti perlambatan kenaikan harga, bukan rollback harga ke masa lalu. Ini menjelaskan kenapa di pasar, harga barang tidak otomatis ikut turun meskipun inflasi sedang “jinak”.
Harga Sudah Naik Terlalu Tinggi, Sulit Kembali Turun
Ada pula yang disebut sebagai “sticky prices” atau harga yang cenderung “lengket ke atas”. Ini umum terjadi pada barang konsumsi seperti makanan, minuman, dan jasa. Saat harga sudah naik karena inflasi atau gangguan pasokan, sangat jarang pelaku usaha mau menurunkan harga kembali, kecuali dipaksa oleh kompetisi atau krisis permintaan. Ambil contoh pedagang warteg atau restoran kecil. Ketika harga bahan pokok naik drastis tahun lalu, mereka menaikkan harga menu dari Rp15.000 jadi Rp18.000. Tapi ketika harga bahan baku sudah stabil atau turun sedikit, mereka enggan menurunkan harga. Alasannya sederhana: biaya lain seperti sewa, listrik, dan tenaga kerja tetap tinggi—belum lagi margin keuntungan yang sempat tergerus saat inflasi melonjak.
Efek Domino Kenaikan Biaya Produksi
Harga barang juga tidak berdiri sendiri. Ada rantai panjang biaya produksi yang mempengaruhi harga jual akhir. Kenaikan harga BBM, tarif tol, biaya distribusi, dan nilai tukar bisa ikut mendorong harga barang naik. Sekalipun inflasi umum menurun, kalau salah satu komponen biaya ini tetap tinggi, maka harga barang juga tetap mahal. Selain itu, sektor-sektor tertentu seperti logistik, energi, dan pangan sangat sensitif terhadap guncangan global. Ketika biaya distribusi naik karena gangguan rantai pasok internasional, harga bahan pokok domestik bisa ikut naik—dan tidak mudah turun kembali meskipun kondisi global mulai stabil.
Psikologi Harga: Ekspektasi Konsumen dan Produsen
Selain faktor teknis dan biaya, harga juga dipengaruhi oleh psikologi pasar. Banyak produsen atau pedagang yang menaikkan harga berdasarkan ekspektasi inflasi ke depan, bukan hanya data saat ini. Jika mereka memperkirakan biaya akan terus naik, mereka cenderung menaikkan harga lebih awal sebagai langkah antisipasi. Sementara itu, dari sisi konsumen, rasa “mahal” bisa bertahan lebih lama meski inflasi melandai. Ini karena daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. Upah tidak naik secepat harga, sementara kebutuhan makin banyak. Hasilnya: tekanan ekonomi tetap terasa meskipun angka inflasi terlihat bersahabat.
Gaji Tidak Naik, Beban Tetap Tinggi
Salah satu penyebab masyarakat merasa “harga gak turun-turun” adalah karena pendapatan tidak naik secepat pengeluaran. Banyak perusahaan belum menyesuaikan gaji karyawan dengan kondisi pasca-pandemi atau pasca lonjakan inflasi 1–2 tahun terakhir. Alhasil, walaupun laju inflasi melambat, gap antara pengeluaran dan pemasukan masih terasa berat. Dalam kondisi ini, bahkan kenaikan harga sekecil apapun bisa terasa besar. Konsumen juga menjadi lebih sensitif terhadap perubahan harga dan cenderung menunda konsumsi, yang akhirnya memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Haruskah Pemerintah Turunkan Harga Secara Paksa?
Ada tuntutan dari sebagian masyarakat agar pemerintah turun tangan untuk “menurunkan harga”. Namun hal ini tidak sesederhana kelihatannya. Penurunan harga secara paksa (price control) berisiko menimbulkan distorsi pasar. Jika harga dipaksa turun di luar logika biaya dan pasar, bisa terjadi kelangkaan barang karena produsen enggan memproduksi. Yang lebih realistis adalah pemerintah fokus menjaga stabilitas harga melalui kebijakan makro seperti subsidi energi yang terukur, penguatan cadangan pangan, dan efisiensi distribusi. Pemerintah juga bisa mendorong daya beli dengan insentif fiskal dan kebijakan upah yang lebih responsif terhadap kondisi riil.
Jadi, Kapan Harga Akan Benar-Benar Turun?
Secara historis, harga barang memang jarang turun secara umum kecuali terjadi resesi besar atau krisis permintaan ekstrem. Dalam kondisi normal, yang bisa diharapkan masyarakat bukan harga kembali murah seperti dulu, tapi kestabilan harga—tidak terus naik secara liar. Yang lebih penting dari inflasi rendah adalah kestabilan dan prediktabilitas harga. Jika masyarakat bisa merencanakan keuangan dengan lebih pasti karena harga-harga tidak melonjak tiba-tiba, maka itu sudah menjadi kondisi yang sehat bagi perekonomian.
Penutup: Inflasi Jinak Bukan Berarti Hidup Murah
Inflasi yang melandai memang menjadi kabar baik dari sisi makro ekonomi. Tapi bagi masyarakat, kenyataan di lapangan tetap berbicara lain. Harga yang sudah terlanjur naik, pendapatan yang belum ikut tumbuh, dan beban hidup yang terus bertambah membuat tekanan ekonomi tetap terasa. Karena itu, penting bagi publik untuk memahami bahwa inflasi yang “turun” bukan berarti harga ikut turun. Yang bisa dilakukan adalah mengelola keuangan lebih cermat, meningkatkan pendapatan lewat upskilling, dan mendorong pemerintah untuk menjaga kestabilan harga dan memperbaiki daya beli masyarakat secara nyata.
Related News

Jebakan Dividen: Ketika Saham Blue Chip Tak Lagi Jadi Pilihan Aman

Menjelajah Lorong Ketidakpastian: Prospek Pasar Modal Indonesia Q3

Menyongsong Era Resesi Global: Apa Artinya bagi Ekonomi Indonesia?

Valuasi vs Realitas: Mengapa Banyak Startup Gagal Setelah IPO?

Pelajaran Sederhana dari Krisis dan Euforia Untuk Investor Muda

Bagaimana AI Mengubah Investor Saham Melakukan Analisa Fundamental