Larangan Menteri Rangkap Jabatan, Juga Berlaku bagi Wamen

Ilustrasi wakil menteri merangkap jabaran komisaris BUMN. Dok. Kolase Tribunnews.
EmitenNews.com - Larangan rangkap jabatan bagi menteri, sesungguhnya juga berlaku bagi wakil menteri. Pasalnya, menurut pengamat hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga Hardjuno Wiwoho menteri dan wamen merupakan satu paket kekuasaan eksekutif. Dengan begitu, jika menteri dilarang merangkap sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), larangan itu secara prinsip juga harus berlaku bagi wakil menterinya.
“Wakil menteri bukan jabatan yang independen. Ia bukan pejabat politik otonom yang punya garis komando sendiri, dia perpanjangan tangan menteri," kata Hardjuno Wiwoho dalam keterangannya yang dikutip Selasa (15/7/2025).
Larangan rangkap jabatan bagi pejabat eksekutif negara sebenarnya sudah diatur secara tegas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.
Pasal 23 huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta.
“Pasal ini terang benderang, tidak multitafsir. Karena jabatan wakil menteri adalah bagian dari struktur kementerian dan pembantu presiden, maka semestinya terikat pula pada semangat dan norma dalam undang-undang ini,” ujarnya.
Selain itu, Pasal 17 huruf a UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang melarang pelaksana pelayanan publik dari instansi pemerintah merangkap jabatan di organisasi usaha.
Sementara itu, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara khusus menekankan larangan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan berbagai tugas pemerintahan.
Tidak itu saja. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang mempertegas larangan menteri merangkap jabatan.
“Putusan MK ini menunjukkan bahwa semangat konstitusi kita tidak pernah membenarkan penumpukan kekuasaan administratif dan korporatif dalam satu tangan,” kata Hardjuno Wiwoh
Negara-negara yang lebih maju dalam hal tata kelola pemerintahan, seperti Prancis, misalnya, sejak 2014 berlaku pembatasan tegas atas praktik cumul des mandats atau rangkap jabatan oleh pejabat publik.
Jadi, pejabat yang duduk di parlemen tidak lagi boleh merangkap jabatan di pemerintahan daerah atau institusi eksekutif lainnya. Rangkap jabatan dinilai merusak profesionalitas dan membuka ruang konflik kepentingan.
Di kawasan Asia Tenggara, Vietnam dan Malaysia justru menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk memperbaiki sistem. Vietnam memperketat pemisahan jabatan publik dan jabatan di perusahaan milik negara sejak terjadinya sejumlah skandal korupsi.
Juga Malaysia yang belajar dari krisis 1MDB dan sejak 2023 mulai melarang menteri merangkap sebagai ketua perusahaan BUMN.
Lebih dari sekadar regulasi, persoalan rangkap jabatan menyentuh inti dari integritas pemerintahan. Jabatan publik merupakan amanah, bukan ruang akumulasi posisi dan fasilitas.
“Negara tidak kekurangan orang cakap. Tapi kalau jabatan publik dijadikan alat bagi segelintir elite untuk menumpuk kekuasaan, maka republik ini sedang menyimpang dari arah semestinya,” tutur Hardjuno Wiwoho.
MK sudah menegaskan adanya larangan bagi wakil menteri double job
Sebelumnya lagi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sudah menyatakan bahwa MK telah melarang wakil menteri untuk merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Larangan untuk para pembantu Presiden double job ini sudah tertuang jelas dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, meski larangan untuk wakil menteri tidak tertulis secara literal.
Related News

Atasi Tingkat Pengangguran di Indonesia, Ini Empat Jurus Menkeu

BNN Ungkap Warga Rusia dan Ukraina Operasikan Kartel Narkoba di Bali

Jalani Pemeriksaan 9 Jam, Nadiem Diizinkan Kembali Temui Keluarga

Kasus Korupsi Chromebook, Kejagung Periksa Eks CEO GoTo

Sejarah Baru Perdagangan Bebas, Senyum Lebar Presiden Prabowo

Hadapi Sidang Vonis 18 Juli, Tom Lembong Siap Terima Segala Skenario