Likuiditas 2026: Mengapa Kredit Kering Saat Bank Banjir Cash?
Likuiditas 2026: Mengapa Kredit Kering Saat Bank Banjir Cash? Source: iStock
EmitenNews.com - Keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Desember 2025 untuk menahan BI-Rate di level 4,75% mungkin terlihat seperti langkah stabilitas biasa. Namun, jika kita membedah "jeroan" data bauran kebijakan makroprudensialnya, kita akan menemukan sebuah anomali besar: likuiditas melimpah di atas kertas, namun kering kerontang di lapangan.
Ada indikasi kuat bahwa insentif jumbo yang digelontorkan BI untuk mendorong kredit justru terjebak dalam sebuah "labirin moneter" yang hanya menguntungkan neraca bank, bukan dunia usaha.
Fenomena 'Roundtrip' Likuiditas: Uang Kembali ke Pengirim
BI mengumumkan telah menyalurkan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) sebesar Rp388,1 triliun. Dari angka fantastis ini, Bank BUMN (Himbara) menyerap porsi terbesar, yakni Rp177,1 triliun.
Secara logika, dana Rp177 triliun ini seharusnya menjadi "bensin" bagi perbankan untuk memacu kredit ke sektor prioritas. Namun, lihat datanya: Pertumbuhan kredit UMKM justru terkontraksi alias minus 0,64%.
Kemana larinya uang itu? Jawabannya ada pada instrumen SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) yang saldonya kini menggendut hingga Rp735,67 triliun. Terjadi looping atau lingkaran setan: BI memberikan insentif likuiditas ke bank (lewat KLM), lalu bank memarkirkan kembali uang tersebut ke BI (lewat SRBI) untuk mengejar imbal hasil yang aman dan bebas risiko.
Mengapa Harus Repot Menyalurkan Kredit?
Data RDG mengungkap angka AL/DPK (Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga) yang sangat tinggi di level 29,67%. Artinya, hampir sepertiga dari dana masyarakat di bank hanya "nganggur" dalam bentuk aset likuid.
Bagi manajemen bank (terutama bank pemerintah), logika bisnisnya sangat pragmatis namun kejam bagi ekonomi riil:
- Risiko Kredit: Menyalurkan kredit ke sektor riil di tengah inflasi inti yang rendah (2,36%) memiliki risiko NPL yang tinggi.
- Cuan Instan: Membeli SRBI memberikan yield yang bersaing tanpa risiko gagal bayar sama sekali.
Hasilnya? NIM (Net Interest Margin) perbankan tetap terjaga di 4,57% dan CAR (Rasio Kecukupan Modal) melambung ke 26,38%. Perbankan kita sangat sehat secara finansial, tapi mereka sehat karena "memakan" bunga dari bank sentral, bukan dari produktivitas ekonomi.
'Crowding Out' dan Keresahan Fiskal
Inilah alasan mengapa Menteri Keuangan Purbaya Yudhi mulai menunjukkan keresahannya. Ketika likuiditas perbankan tersedot ke instrumen moneter BI seperti SRBI, muncul efek Crowding Out. Sederhananya, crowding out adalah kondisi di mana sektor keuangan lebih sibuk "membiayai" instrumen negara ketimbang menjalankan fungsi aslinya untuk membiayai produktivitas ekonomi masyarakat.
Pemerintah kesulitan mendapatkan dana murah dari pasar domestik (lewat SBN) karena bank lebih tertarik pada SRBI yang lebih "seksi". Di sisi lain, dunia usaha harus gigit jari karena bank semakin selektif—atau bahkan enggan—menyalurkan kredit meski sudah diberi insentif oleh BI. Insentif Rp177 triliun untuk bank pelat merah tersebut praktis hanya menjadi pemanis di laporan keuangan (window dressing) ketimbang menjadi urat nadi ekonomi.
Implikasi bagi Investor Saham di 2026
Investor harus jeli melihat bahwa profitabilitas perbankan saat ini didorong oleh pendapatan bunga non-kredit. Ini adalah "kualitas laba" yang berbeda.
Sektor perbankan masih akan membukukan laba tebal, namun pertumbuhan harga sahamnya akan terbebani oleh sentimen stagnant credit growth. Jika pertumbuhan kredit hanya 7,74% saat DPK tumbuh 12,03%, ada miss-match yang menunjukkan bank tidak lagi menjalankan fungsi intermediasi secara optimal.
Sektor riil dan manufaktur akan menghadapi tantangan berat di 2026. Selama instrumen SRBI masih menjadi "magnet" yang lebih kuat dibanding kredit modal kerja, ekspansi emiten manufaktur akan terhambat oleh mahalnya biaya dana.
Related News
Bedah Strategi Baru GoTo: Akhir Era Bakar Uang atau Jebakan Valuasi?
GoTo 2026: Era Avengers Profesional atau Hilangnya Jiwa Startup?
Grup Hashim & Northstar di FiberCo ISAT: Siapa yang Bakal Cuan Besar?
Uang Kaget ISAT Rp14,6T: Strategi Jenius atau Obral Aset Indosat?
Di Balik INET: Siapakah Otak Right Issue Rp3,2T?
Right Issue INET Rp3,2T: Jebakan Dilusi atau Rejeki Nomplok 2026?





