EmitenNews.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa dalam menghadapi pandemi Covid-19, program vaksinasi dan pemberian booster vaksin akan terus dilanjutkan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Meskipun demikian ia menglawatirkan adanya gangguan (disruption) baru yang berasal dari faktor global. Yaitu berupa kenaikan harga barang, lonjakan tekanan inflasi, serta pengetatan kebijakan moneter baik dalam bentuk likuiditas dan kenaikan suku bunga yang berpotensi menimbulkan volatilitas di pasar keuangan seluruh dunia.
“Dengan kenaikan suku bunga yang ketat dan tinggi dan pengetatan likuiditas, akan melemahkan pemulihan ekonomi, sehingga ancaman stagflasi yaitu resesi dengan kombinasi inflasi yang tinggi menjadi sangat nyata,” ungkap Menkeu pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (31/5).
Menkeu menjelaskan bahwa ada kenaikan harga komoditas yang cukup ekstrem yang terjadi di sektor energi (gas, batubara, minyak) dan di sektor pangan (CPO, gandum, jagung, kedelai) seara global. Kenaikain harga komoditas ini memicu terjadinya inflasi seperti halnya yang terjadi di Amerika dimana inflasinya sudah di atas 8 persen, dan Inggris yang menyentu 9 persen. Sementara itu, emerging country lain seperti Meksiko, Afrika, Afrika Selatan, Korea, dan India juga mengalami lonjakan inflasi yang cukup tajam.
Di Amerika, secara historis kenaikan inflasi ini direspons oleh Federal Reserve dengan menaikkan suku bunga ekstrem pada tahun 1974 hingga menyentuh angka 13%. Dan waktu itu, kemudian ekonomi Amerika mengalami resesi dengan minus 0,5% pada tahun 1974, serta pada tahun selanjutnya masih mengalami pertumbuhan negatif sebesar minus 0,2%.
Kemudian, pada Tahun 1980 inflasi di Amerika juga terjadi karena harga minyak yang tinggi yang ke dian juga direspon dengan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) suku bunga melonjak 20%. Inflasi Amerika tahun itu memang kemudian dapat dikendalikan dalam 1-2 tahun kedepannya, namun saat itu pertumbuhan ekonomi Amerika juga mengalami resesi minus 2,02% di tahun 1980 dan minus 1,9% pada tahun 1982.
“Melihat histori tersebut, inflasi tidak hanya dapat mengancam kinerja ekonomi, melainkan kenaikan inflasi tinggi dengan resesi itu disebut sebagai stagflasi,”ungkap Menkeu.
Kenaikan suku bunga di Amerika juga menyebabkan Capital outflow di berbagai negara terutama pada investasi jangka pendek seperti stock maupun bonds. Menkeu menjelaskan, Indonesia juga mengalami capital outflow terutama di dalam bonds hinga April 2022. Hal ini menimbulkan tekanan terhadap yield surat berharga.
Selain itu, Menkeu juga mengingatkan mengenai perlunya mewaspadai kondisi perekonomian RRT yang saat ini sedang mengalami tekanan. Kenaikan jumlah kasus Covid-19 di RRT mengakibatkan terjadinya restriksi di negara tersebut, sehingga berpengaruh juga terhadap perekonomian RRT dan dunia.
“Jadi resiko global kita adalah pertumbuhan yang harusnya tinggi justru melemah, inflasi yang harusnya rendah justru meningkat. Ini adalah kombinasi yang perlu diwaspadai, karena dampaknya akan sangat kompleks,” ujar Menkeu.(fj)
Related News
Mobil Baru Mahal,Gaikindo Ungkap Yang Bekas Penjualannya Meningkat
Distribusi Reksa Dana MONI II Kelas Income 2, Bank DBS Kolaborasi MAMI
IFG Gelar Research Dissemination 2024, Hadirkan Dosen Sejumlah PT
Sampai 19 November Rupiah Melemah 0,84 Persen dari Bulan Sebelumnya
BI Kerahkan Empat Instrumen untuk Jaga Stabilitas Rupiah
Membaik, Neraca Pembayaran Indonesia Triwulan II Surplus USD5,9 Miliar