EmitenNews.com - Perang Rusia-Ukraina terus bergolak. Setidaknya, dalam waktu dekat ini belum ada tanda-tanda ketegangan yang sudah berlangsung lebih dari setahun itu, akan berakhir. Ledakan besar di Nord Stream 1 dan Nord Stream 2 pada 26 September 2022, yang diistilahkan oleh situs berita EurAsian Times sebagai “bom Nordic”, turut memperkeruh suasana. Amerika Serikat dan sekutunya dituding memiliki agenda tersendiri di sana. Tetapi, diyakini ada tidaknya sabotase Amerika Serikat dalam ledakan itu, perang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.


Begitu parahnya ledakan itu, sampai membuat tiga dari empat jalur pipa tidak dapat beroperasi. Menariknya, berbagai teori telah dikemukakan terkait siapa pihak yang melakukan serangan tersebut, tetapi sejauh ini belum diketahui pasti siapa yang memicu ledakan besar itu. Baik Amerika Serikat maupun Rusia menyangkal bertanggung jawab atas ledakan tersebut.


Dalam keterangannya yang dikutip pada Minggu (19/3/2023), anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan, konflik Rusia-Ukraina bukan perkara gampang. Itu perseteruan yang telah berjalan belasan tahun. Selama ini, urai politikus Partai Golkar itu, dunia barat tetap melihat Putin sebagai penjahat kejam yang hanya ingin melumatkan Ukraina.


Padahal, menurut Dave Laksono, Amerika Serikat, dan sekutunya memiliki agenda tersendiri dalam perang ini, dan itu juga yang memperlambat proses perdamaian. Dan negara-negara Eropa barat terpaksa masuk dalam ritme yang ditentukan oleh AS, walau pun itu menyakitkan bagi ekonomi Eropa barat. “Jadi seperti tersandera semuanya.”


Sejauh ini, belum ada tanda-tanda perang Rusia-Ukraina akan reda. Pertanyaan dari Dave Laksono, seberapa kuat ekonomi Rusia menghadapi ribuan sanksi yang diberikan dunia, atau kalangan internasional kepada mereka. “Apakah China akan terus menyokong mereka?. Banyak hal yang harus kita lihat untuk memprediksi perang ini.”


Memang, China belakangan muncul memainkan peran strategisnya, termasuk sukses mendamaikan Arab Saudi dan Iran. Tetapi, adakah China bakal sukses bermain dan mendamaikan perang Rusia Ukraina ini?. Menurut Dave Laksono, tidak mungkin bermain sendiri, harus melibatkan semua pihak.


Artinya, ditambah adanya agenda AS, Dave Laksono berharap perang Rusia versus Ukraina ini tidak terus bergolak, sampai ada yang kalah, misalnya. Sampai kini, kalangan internasional, termasuk pihak Indonesia, tidak terkecuali jajaran parlemen, senantiasa mengupayakan terjadinya perdamaian di wilayah itu.


Untuk jalur perdamaian dunia, menurut Dave Laksono, DPR RI selalu membawa masalah itu, ke berbagai panggung parlemen yang ada. “Iya, itu selalu kita bawa. Dalam setiap kegiatan parlemen, baik bilateral, atau multilateral, kita selalu mengupayakan dialog agar tercipta perdamaian, dan perang Rusia-Ukraina berhenti dengan damai.”


Sementara itu, pengamat Eropa Timur dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra mengungkapkan, lepas dari benar tidaknya ada sabotase dalam peledakan pipa itu, ada yang perlu dipahami dari meletusnya perang Rusia-Ukraina. Masalah mendasar itulah, yang selama ini membuat sulit mencari titik temu, sehingga perang bergolak, dan membuat korban terus berjatuhan.


Menurut Radityo Dharmaputra, perang tersebut bukan soal NATO, seperti banyak pandangan orang awam dan para ahli yang tidak paham soal Rusia dan Ukraina. “Ini soal identitas diri. Bahwa Rusia merasa Ukraina semakin jauh dari dia, sementara Ukraina memang ingin menjauh secara politik dan kultural dari Rusia karena mereka trauma dengan Rusia.”


Pihak yang menekan dan mengimbau agar perang dihentikan tidak memahami situasi ini. Karena situasi yang sulit dipahami itulah, titik temu ini memang belum akan dicapai. Karena Putin tidak punya opsi selain terus menyerang. Kalau tidak menyerang, Rusia, atau Presiden Vladimir Putin akan jatuh, karena dianggap gagal dan akan dapat tekanan dari masyarakat Rusia juga.


Sementara itu, Ukraina sebagai pihak yang diserang oleh Rusia, tentu tidak akan berhenti mempertahankan wilayahnya. Karena, Ukraina yang diserang.


Jadi, sekali lagi, kata Radityo Dharmaputra, kalau ini cuma soal NATO, gampang solusinya. Masalahnya, ini bukan soal NATO, tapi soal identitas negara. Nyaris tidak mungkin berhenti. Kecuali salah satu pihak kalah. Dalam konteks perang Rusia-Ukraina, menurut dia, soal kemungkinan ada sabotase, tidak terlalu memperumit situasi seperti dibayangkan. Pasalnya, tanpa insiden itu pun perang ini sulit selesai. Karena sekali lagi, ini soal identitas diri. ***