EmitenNews.com - Komisaris PT Pelayaran Samudera Rizqi (PSR), Rita Hendrawaty menilai proses hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan PT Orela terhadap PT PSR menyisakan sejumlah pertanyaan serius. Di balik permohonan utang tersebut, mencuat dugaan manipulasi hukum yang melibatkan mantan pengurus perusahaan dan kuasa hukumnya.

Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025), mengungkap bahwa perkara ini bukan sekadar sengketa piutang, melainkan memuat lapisan intrik internal, potensi konflik kepentingan, hingga indikasi pelanggaran prinsip dasar tata kelola perusahaan.

“Ini bukan semata perkara utang. Ini menyangkut integritas dan masa depan dunia usaha,” ujar Komisaris PSR, Rita Hendrawaty, dalam pernyataannya usai sidang.

Berawal dari klaim peminjaman airbag 

Permohonan PKPU berawal dari klaim peminjaman airbag untuk salvage kapal milik PSR. Namun, menurut Rita Hendrawaty, tak pernah ada perjanjian kerja sama resmi antara kedua belah pihak. “Tidak ada kontrak, tidak ada pengakuan utang yang sah.”

Di tengah proses sidang, terungkap pula adanya komunikasi dari kuasa hukum mantan direksi PSR yang diduga mendorong pihak luar untuk mengajukan PKPU terhadap perusahaan. Dugaan ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut: apakah proses ini murni penyelesaian utang, atau justru sarana untuk melemahkan perusahaan dari dalam?

Ketegangan di tubuh PSR kian memanas pasca Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) awal tahun ini. RUPS tersebut secara sah memberhentikan seluruh jajaran direksi lama tanpa memberikan acquit et de charge—artinya, mereka masih bertanggung jawab secara hukum atas tindakan selama menjabat.

“Sejak perubahan pengurus, justru mulai bermunculan klaim utang dari pihak-pihak yang berafiliasi dengan direksi lama,” ungkap Rudi Rusmadi, pemegang saham PSR melalui PT Kemala Permanik dan PT Pelayaran Samudera Logistindo.

Rudi Rusmadi menjelaskan, mekanisme PKPU kini digunakan bukan untuk restrukturisasi, tetapi sebagai alat untuk mengacaukan arah perusahaan.

Tudingan paling serius diarahkan kepada kuasa hukum yang pernah mewakili PSR. Menurut Rudi Rusmadi, advokat tersebut justru aktif mendekati pihak luar untuk mengajukan PKPU terhadap perusahaan yang dahulu menjadi kliennya.

“Bagaimana bisa seorang kuasa hukum justru menjadi aktor utama yang berupaya menjatuhkan perusahaan yang pernah dia wakili?” kata Rudi.

Pakar hukum korporasi yang juga menjadi kuasa hukum PSR, Nelson Kopoyos S.H., M.H menilai, jika benar, tindakan tersebut melanggar prinsip fiduciary duty, yakni kewajiban hukum seorang pengurus dan penasehat hukum untuk bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan.

“Ini bukan hanya pelanggaran etika profesi. Ini berpotensi menjadi delik pidana korporasi,” ujarnya.

Jadi isyarat Bahaya bagi Dunia Usaha

Rita Hendrawaty mengingatkan, penyalahgunaan instrumen hukum seperti PKPU dapat menjadi preseden buruk bagi dunia usaha di Indonesia. Ia khawatir, jika kecenderungan ini terus berlangsung, investor akan makin meragukan kepastian hukum di Indonesia.

“PKPU seharusnya menjadi jalan keluar keuangan, bukan alat sabotase bisnis,” katanya. 

Rita berharap majelis hakim mampu melihat secara jernih perkara ini, memilah mana sengketa murni, dan mana yang sarat rekayasa.