Saham Perbankan Tetap Menjanjikan, Ini Rahasia di Baliknya!
Screen perdagangangan saham di BEI
EmitenNews.com — Investor asing tampaknya masih belum nyaman menempatkan duit investasinya di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk jangka panjang. Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG mengalami tren penurunan. Bahkan, pada perdagangan Kamis, 6 Februari 2025, IHSG mengalami koreksi sebesar 2,12 persen, dan ditutup di level 6.875.
Berdasarkan data BEI, hingga kemarin, asing masih keluar dari pasar saham Indonesia, dengan mencatatkan transaksi net sell Rp 2,34 triliun. Aksi jual itu membuat asing mengakumulasi penjualan bersih saham month to date Rp 3,29 triliun di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan secara year to date, asing mencatatkan net sell Rp 7,00 triliun.
Sejumlah pihak menilai, penurunan IHSG tersebut merupakan respons pasar atas kekhawatiran pertumbuhan ekonomi Indonesia, pasca disampaikannya pertumbuhan 2024 yang hanya mencapai 5,03%. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari realisasi 2023 sebesar 5,05% dan jauh di bawah pencapaian 2022 sebesar 5,31%. Faktor lain yang membuat asing melakukan aksi jual jumbo di pasar modal, adanya deflasi sebesar 0,76% pada Januari 2025, serta kinerja 2024, sejumlah emiten besar terutama di sektor perbankan yang dinilai di bawah ekspektasi pasar.
Kendati demikian, menurut analis pasar modal dari PT Rumah Para Pedagang, Kiswoyo Adi Joe, saham perbankan khususnya Bank Mandiri, masih memiliki potensi pertumbuhan yang cukup besar. Meskipun perekonomian global diwarnai perang dagang, perekonomian domestik dinilai mampu bertahan, seiring kebijakan penghematan anggaran belanja kementrian, dalam mendukung pembangunan.
“Saya perkirakan, manajemen Bank Mandiri tahun ini dapat lebih leluasa dalam menyalurkan kredit ke sektor yang prospektif dengan tingkat profitabilitas tinggi. Hal itu dapat mendorong peningkatan margin bunga bersih dan pendapatan bunga, serta laba yang lebih baik,” papar Kiswoyo.
BMRI dinilai telah teruji, mampu mencatat kinerja positif setiap tahun. Terbukti selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya, Mandiri secara konsisten meraih pertumbuhan laba dengan tetap menjaga tingkat kredit bermasalah jauh di bawah batas ketentuan regulator. Padahal, selama 10 tahun kemarin, perekonomian Indonesia diwarnai tekanan global dan domestik yang tak kalah berat.
Tahun lalu, realisasi kredit Bank Mandiri secara konsolidasi mencapai Rp 1.670,55 triliun naik 19,5% secara year on year (YoY). Kredit wholesale yang menjadi core business perseroan terus menjadi pendorong utama penyaluran kredit. Begitupula, kualitas kredit Bank Mandiri sangat baik, tercermin dari rasio kredit bermasalah di level 0,97%, turun 5 basis poin (bps) dari tahun sebelumnya.
Dari sisi pendapatan non-bunga, Bank Mandiri berhasil meraih Rp 42,32 triliun, tumbuh 4,12% secara konsolidasi (yoy). Bank Mandiri mencatatkan laba bersih konsolidasi sebesar Rp 55,8 triliun naik 1,31% secara YoY. Pencapaian ini mencerminkan efektivitas strategi ekspansi berbasis digital, peningkatan efisiensi operasional, serta diversifikasi sumber pendapatan yang semakin kokoh.
Untuk mendukung ekspansi kredit tahun ini, Kiswoyo melihat pentingnya BMRI memperhatikan likuiditas. Sehingga, rasio penyaluran kredit berbanding simpanan alias loan to deposit ratio (LDR) BMRI dapat terjaga di level optimal. "Saya perkirakan saham sektor perbankan, masih akan terus meningkat. Terutama saham BMRI masih ada potensi bertumbuh hingga Rp 7.200 per saham sampai akhir 2025,” tutup Kiswoyo.
Related News
Kunjungan Wisman Meningkat 8,72 Persen pada Desember 2024
IHSG Ambles 2,20 Persen di Sesi I, BRPT, MAPA, UNVR Top Losers LQ45
Mengekor Wall Street, IHSG Ikutan Menyala?
IHSG Kembali Tertekan, Ini Pemicunya
IHSG Oversold, Phintraco Sodorkan MAPI, INDF, dan MYOR
Belum Pulih, IHSG Lanjut Koreksi