Setelah Alibaba, Giliran Tencent dan Baidu Berurusan Dengan Otoritas Cina
EmitenNews - Tak cuma dialami perusahaan milik Jack Ma, Alibaba. Raksasa media sosial Telcent Holding, raksasa mesin pencari Baidu, dan perusahaan yang didukung pemilik TikTok; ByteDance, kini juga menyusul berurusan dengan otoritas Cina.
Regulator antitrust Cina kemarin diberitakan telah mendenda sejumlah perusahaan teknologi terbesar di negara itu karena tidak mengungkap secara terbuka pendirian usaha patungan atau akuisisi pesaing yang lebih kecil. Karenanya pemerintah negeri tirai bambu melakukan penegakan terhadap praktik monopolistik untuk melindungi kepentingan konsumen.
Mengutip pernyataan yang dikeluarkan State Administration for Market Regulation (SAMR) pada hari Jumat (12/3), South China Morning Post menyebut ada 12 perusahaan yang masing-masing dikenakan denda 500.000 yuan (USD 76.457) karena melanggar undang-undang anti-monopoli Cina.
Selain Tencent Holdings milik konglomerat Ma Huateng yang akrab dengan panggilan Pony Ma, raksasa mesin pencari Baidu, dan ByteDance, ada pula raksasa layanan ride-hailing, Didi Chuxing, afiliasi dari e-commerce JD.com. Sebuah perusahaan investasi yang dikendalikan oleh penyedia layanan lokal, Meituan dan anak perusahaan raksasa e-commerce Alibaba Group Holding juga termasuk di antara 12 bisnis yang terkena denda.
Denda tersebut merupakan sinyal pemerintah Beijing bahwa mereka serius mengekang malpraktik di antara raksasa internet Cina yang tumbuh cepat. Pengetatan peraturan antimonopoli ini memang merupakan agenda utama regulator keuangan Cina di 2021. Sebelumnya, bulan lalu, komite antitrust Cina telah mengeluarkan versi terakhir pedoman anti-monopoli yang siap digunakan untuk menindak perusahaan-perusahaan yang melakukan praktik monopoli.
Meskipun denda itu kecil untuk ukuran perusahaan yang terkena denda, namun jumlahnya adalah yang tertinggi yang ditetapkan oleh undang-undang. Ini mengirimkan sinyal bahwa penegakan hukum terhadap monopoli internet semakin kuat.
Di bawah UU Anti-Monopoli Cina ada tiga kategori utama: perjanjian monopoli yang dicapai antara para pelaku bisnis; penyalahgunaan posisi pasar dominan oleh bisnis; dan konsentrasi pelaku bisnis yang mungkin memiliki efek menghilangkan atau membatasi persaingan. Terutama yang disebabkan oleh kesepakatan merger dan akuisisi (M&A).
Berdasarkan pedoman antitrust yang diperbarui pada 2018, merger atau akuisisi yang melibatkan perusahaan dengan pendapatan tahunan lebih dari 10 miliar yuan secara global, atau 2 miliar yuan di Cina, harus mendapatkan persetujuan otoritas.
Dalam kasus Tencent, perusahaan ini gagal meminta persetujuan untuk akuisisi 83,33 persen saham senilai 1,65 miliar yuan, dalam rangka membiayai start-up pendidikan online Yuanfudao pada 2018. Operator department store Alibaba; Grup Ritel Intime, tidak melaporkan pembelian pengecer Kaiyuan Retail yang berbasis di Shaanxi seharga 3,36 miliar yuan pada tahun 2018. Sementara usaha patungan Didi dengan Softbank di Jepang pada tahun yang sama tidak dilaporkan.
Pada 2019, Beijing Liangzi Yuedong Technology yang didukung ByteDance mendirikan usaha patungan dengan perusahaan media Shanghai Dongfang Newspaper tanpa mengungkapkannya kepada SAMR. Baidu gagal meminta persetujuan sebelum mengakuisisi 53 persen saham di perusahaan robotika Ainemo Inc pada tahun 2020.
Di tahun yang sama, JD.com afiliasi Suqian Hanbang Investment Management, mengambil 100 persen saham di pengecer elektronik Jiangsu Five Star Appliance melalui serangkaian kesepakatan, tanpa melaporkan kepada regulator.
Menanggapi sanksi yang diterimanya, ByteDance berdalih usaha patungan dengan Shanghai Dongfang tidak pernah beroperasi dan dibatalkan pada Januari 2021. Tencent dalam pernyataan resminya menghormati keputusan otoritas. "Kami akan terus beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan peraturan, dan akan berusaha untuk memastikan kepatuhan penuh," kata juru bicara Tencent, Jumat.
Sedangkan Alibaba, JD.com, Meituan, Didi dan Baidu belum memberikan komentar.
Desember 2020 lalu SAMR mengumumkan penyelidikan antitrust ke Alibaba, yang dituduh melakukan tindakan monopoli karena memaksa pedagang bekerja hanya dengan satu platform e-commerce. Pada bulan yang sama, SAMR juga mendenda Alibaba Investment, penerbit buku elektronik yang didukung Tencent, China Literature, dan operator sistem loker ekspres Shenzhen Hive Box Technology masing-masing 500.000 yuan karena tak mengungkapkan kesepakatan akuisisi mereka.
Meskipun SAMR meningkatkan investigasi dengan belasan perusahaan yang didenda, analis You Yunting dari firma hukum Debund Shanghai memperkirakan langkah yang diambil otoritas tidak akan berdampak besar pada bisnis.
“Karena hukuman hanya melibatkan denda, tanpa membatalkan kesepakatan. Itu mungkin tidak dianggap keras,” katanya. Menurut dia sanksi tersebut hanya mengirim sinyal ke pasar bahwa perusahaan internet, termasuk yang beroperasi di bawah struktur VIE (entitas bunga variabel), harus mendapatkan persetujuan dari SAMR untuk menyelesaikan transaksi mereka terkait merger dan akuisisi.(*)
Related News
IHSG Akhir Pekan Ditutup Naik 0,77 Persen, Telisik Detailnya
BKPM: Capai Pertumbuhan 8 Persen Butuh Investasi Rp13.528 Triliun
Hati-hati! Dua Saham Ini Dalam Pengawasan BEI
BTN Raih Predikat Tertinggi Green Building
IHSG Naik 0,82 Persen di Sesi I, GOTO, BRIS, UNVR Top Gainers LQ45
Perkuat Industri Tekstil, Wamenkeu Anggito Serap Aspirasi Pengusaha