Strategi Indonesia Hadapi Kebijakan Trump: Diplomasi atau Konfrontasi?

presiden prabowo saat sarasehan bersama para menteri dan pelaku ekonomi. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Kebijakan proteksionisme Donald Trump kembali menciptakan gejolak perdagangan global. Kali ini, Indonesia menjadi salah satu sasaran utama dengan dikenakannya tarif impor hingga 32%. Kebijakan ini bersifat resiprokal, sebagai respons atas tingginya tarif impor Indonesia yang mencapai 30% untuk produk etanol AS, sementara AS sebelumnya hanya mengenakan tarif 2,5% untuk produk sejenis.
Trump juga menyoroti beberapa hambatan non-tarif yang diberlakukan Indonesia, termasuk:
1. Persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di berbagai sektor industri,
2. Proses perizinan impor yang dinilai tidak efisien, serta
3. Kebijakan wajib penyimpanan pendapatan ekspor sumber daya alam dalam rekening domestik.
Kebijakan tarif Trump akan diberlakukan secara bertahap, dengan tahap pertama berupa tarif dasar sebesar 10% untuk semua negara yang mulai efektif pada Sabtu, 5 April 2025. Tahap kedua berupa tarif khusus untuk sejumlah negara tertentu, termasuk Indonesia, akan diterapkan pada Rabu, 9 April 2025. Kebijakan ini merupakan respons terhadap defisit perdagangan AS dengan berbagai mitra dagangnya.
Kebijakan tarif ini akan berdampak signifikan terhadap industri Indonesia, khususnya sektor-sektor andalan seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), alas kaki, furniture, karet, serta
produk perikanan yang selama ini mengandalkan pasar AS sebagai tujuan ekspor utama. Menanggapi hal tersebut, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menyatakan bahwa dampak kebijakan tarif Trump terhadap Indonesia tidak akan terlalu signifikan. Ia menjelaskan bahwa kontribusi ekspor Indonesia hanya mencapai sekitar 25% dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih rendah dibandingkan banyak negara lain.
Meskipun kebijakan Trump berpotensi memicu resesi global, Basri menegaskan bahwa dampaknya terhadap Indonesia tidak akan sebesar negara-negara yang lebih terbuka terhadap perdagangan internasional. Menurutnya, cara paling efektif untuk meminimalkan dampak krisis global adalah dengan mengurangi ketergantungan pada ekonomi dunia, meskipun hal tersebut sulit dilakukan mengingat keterkaitan global yang semakin erat.
Namun demikian, karena tingkat integrasi Indonesia dengan ekonomi global relatif rendah dibandingkan negara-negara seperti Singapura atau Vietnam, efek yang dirasakan pun akan lebih terbatas.
Dampak langsung kebijakan tarif Trump tampak pada melemahnya nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh level Rp17.000 per dolar AS di bulan April 2025. Kondisi ini mengancam stabilitas industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki yang 35% pasarnya bergantung pada ekspor ke AS. Asosiasi Pertekstilan Indonesia memperkirakan sekitar 50.000 pekerjaan terancam jika kondisi ini berlanjut, sementara penerimaan pajak dari sektor manufaktur diproyeksikan akan menurun 15-20%.
Analisis ini sejalan dengan penjelasan Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia yang menyatakan bahwa dalam kondisi saat ini, pelemahan ekonomi domestik dan depresiasi rupiah merupakan fenomena yang wajar terjadi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa rupiah kemungkinan akan mengalami overshoot (pelemahan cepat dalam jangka pendek) sebelum kemudian menemukan titik keseimbangan baru.
Dalam merespons kebijakan tarif tinggi AS terhadap produk Indonesia, pemerintah dihadapkan pada dua pilihan strategis, mengambil langkah konfrontatif yang berisiko memicu perang dagang, atau mengedepankan negosiasi yang lebih konstruktif?
Pada Minggu, 6 April 2025, Presiden Prabowo Subianto melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Malaysia untuk membahas dampak kebijakan tarif Trump terhadap negara-negara ASEAN. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan segera memulai negosiasi ulang dengan Amerika Serikat guna mencari solusi bersama terkait kebijakan tarif tersebut.
Proses negosiasi dengan Amerika Serikat diprediksi akan berlangsung alot dan penuh tantangan. Dalam situasi ini, kesepakatan perdagangan seharusnya tidak lagi sepenuhnya mengikuti aturan standar (rule-based), melainkan memerlukan pendekatan yang lebih strategis. Diplomat ekonomi Indonesia perlu menunjukkan keahlian khusus, terutama dengan melibatkan peran kementerian luar negeri yang semakin vital dalam membawa agenda ekonomi Indonesia di forum global.
Dalam konteks meningkatnya tensi perang dagang global, isu-isu strategis seperti ketahanan pangan, energi, dan kesehatan semakin menuntut perhatian serius. Indonesia seyogianya mengambil posisi netral yang berimbang, sambil secara proaktif menjalin dan mengembangkan kemitraan ekonomi dengan negara-negara anggota BRICS dan OECD. Strategi ini tidak hanya membantu mengurangi dampak negatif gejolak perdagangan internasional, tetapi juga membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Di samping upaya diplomasi, pemerintah Indonesia juga perlu melakukan langkah-langkah strategis lainnya guna mengurangi ketergantungan terhadap ekonomi global. Salah satunya adalah dengan melakukan realokasi anggaran secara selektif untuk memprioritaskan sektor-sektor kritis dalam negeri. Langkah ini perlu diiringi dengan program edukasi yang komprehensif bagi masyarakat dan pelaku pasar keuangan, sehingga semua pihak dapat memahami dan mendukung kebijakan transisi menuju ekonomi yang lebih mandiri. Upaya percepatan ini memang membutuhkan penyesuaian yang signifikan, namun penting dilakukan secara bertahap namun konsisten untuk membangun ketahanan ekonomi nasional jangka panjang.
Dalam menghadapi kebijakan Trump ini, Indonesia perlu bersikap waspada namun tidak reaktif. Kombinasi antara diplomasi yang luwes, kebijakan fiskal yang tepat, dan penguatan ekonomi domestik akan menjadi kunci menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah badai proteksionisme.
Related News

Prospek IHSG Kedepannya Berpotensi Cerah, Ini Alasannya

Sawit dan Batu Bara Jadi Pedang Bermata Dua Menuju Masa Depan Bersih

Perang Dagang AS-China Guncang Rupiah & Pasar Saham, Kita Harus Apa?

Sikap Prabowo ke Saham: Ketegasan Politik atau Ketidaktahuan Ekonomi?

Tarif Impor vs Pertumbuhan Ekonomi : Bagaimana Investor Bisa Bertahan?

Dilema Adaro: Mengapa Batu Bara Masih Mendominasi Dibanding EBT?