Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sebelumnya mengatakan potensi karbon di Indonesia sangat besar. Namun untuk dapat memperdagangkan karbon, perlu adanya sertifikasi konsesi lahan penghasil karbon. Irham Budiman yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perkumpulan Penilai Kesesuaian Seluruh Indonesia (ALSI) mengatakan bursa karbon sangat dibutuhkan karena sejalan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC) sebesar 29% - 41% pada 2030 serta net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih pada 2060. 

 

Analisis Carbon Brief pada Oktober 2021 mengungkap, Indonesia menempati peringkat kelima negara penghasil emisi terbesar dunia sejak tahun 1850. Kontribusinya mencapai 4%. Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat, emisi karbon Indonesia mencapai 932.000 ton karbon dioksida (CO2) pada 2001. Angka ini meningkat menjadi 1,15 juta ton CO2 pada 2017. Penyumbang terbesar adalah sektor energi dan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU). 

 

Pada 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jumlah emisi karbon dioksida yang dihasilkan di Indonesia mencapai 1.262 gigaton. Pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan 23% pada 2025. “Perlu keseriusan bersama dari seluruh pihak untuk mengurangi emisi karbon di Tanah Air. 

 

Bursa karbon merupakan salah satu upaya yang perlu didukung dengan eksosistem bisnis di masing-masing institusi. MUTU International sebagai salah satu anggota ALSI, perkumpulan perusahaan TIC, sudah memiliki ekosistem pendukung tersebut,” tutup Irham.