EmitenNews.com—Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sebanyak 8.693 customer information file yang terindikasi melakukan transaksi judi online. Adapun total dana atas aktivitas tersebut sebesar Rp 608,87 miliar.


Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, saat ini otoritas berupaya melakukan pemantauan terhadap rekening yang terindikasi judi online. 


"Bank sudah melaporkan sekitar 8.693 CIF yang terindikasi judi online, dengan jumlah total dana pihak ketiga mencapai Rp 608,87 miliar melalui laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)," ujarnya saat konferensi pers, belum lama ini.


Menurut dia, perbankan telah menerapkan program antipencucian uang dan pencegahan transaksi mencurigakan dengan parameter yang cukup memadai dan telah diterapkan secara efektif.


"Perbankan senantiasa patuh secara prinsip ini untuk melaporkan sesuai ketentuan yang berlaku. Kemudian, OJK juga berkolaborasi dengan lembaga terkait kalau ada transaksi mencurigakan," ucapnya.


Dari sisi lain, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan hanya 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan.


Direktur Humas OJK Darmansyah menambahkan ada beberapa strategi yang telah disusun demi meningkatkan literasi keuangan masyarakat Indonesia. Pertama, strategi literasi keuangan dilakukan secara online hingga offline.


Adapun kegiatan literasi keuangan secara online menjadi tumpuan mereka. Karena kegiatan secara offline sangat sukar dilakukan di tengah situasi pandemi Covid-19 sejak 2020 hingga 2021. Namun, setelah adanya relaksasi pelonggaran mobilitas masyarakat, kegiatan tersebut tetap dilakukan secara online.


"Sekarang setelah pandemi tetap dilakukan, karena ternyata ada dampak yang bagus. Salah satunya, menjangkau lebih kuat, akan tetapi efektivitasnya masih harus dikaji," ucapnya.


Menurutnya kegiatan literasi yang dilakukan secara online dinilai memang dapat mendatangkan khalayak yang lebih luas dan banyak. Dia tetap harus membuktikan apakah dengan banyaknya khalayak yang mengikuti kegiatan literasi membuat mereka menjadi paham soal literasi keuangan.


Adapun kegiatan literasi secara offline pun masih tetap dilakukan. Sebab tidak semua wilayah di Indonesia dapat dijangkau secara online. Seperti wilayah 3T sebagai daerah yang tergolong dalam daerah tertinggal, terdepan dan tertular belum didukung infrastruktur yang mumpuni.


"Kalau ternyata ada juga daerah yang tidak bisa dijangkau secara online misal 3T, ini kan infrastrukturnya agak sulit. Jadi, kami menggunakan pendekatan offline. Kami datang kesana melakukan edukasi," ucapnya.


Tak hanya itu, kelompok rentan seperti anak jalanan dan kaum pedesaan dengan penghasilan rendah turut mendapatkan literasi keuangan. Mereka merupakan kelompok yang rentan mengalami goncangan ekonomi terutama kenaikan BBM saat ini.


"Ini juga karena mereka penerima bantuan, kan HP susah tidak punya. Jadi harus hadir ke sana, inilah penjabaran kenapa perlu strategi online dan offline," ucapnya.


Kedua, perkembangan infrastruktur membuat pihaknya mengembangkan beberapa materi terkait literasi, salah satunya buku tingkat yang diperuntukkan bagi PAUD sampai dengan perguruan tinggi. Adapun OJK baru mengembangkan Learning Management System (LMS) sekitar 10 modul, untuk mengetes terkait pemahaman di sektor jasa keuangan.


"Pengembangan infrastruktur, ada berupa buku dan digital, konten digital ada dan LMS," ucapnya.


Ketiga penguatan kebijakan yang tentu saja harus didukung peraturan agar memberikan sedikit paksaan terhadap pelaku usaha demi melakukan kegiatan literasi dan inklusi keuangan. Jika di dalam peraturan ada kewajiban bahwa setiap pelaku usaha wajib melakukan kegiatan literasi dan inklusi keuangan minimal satu tahun sekali dan itu wajib dilaporkan ke OJK.