EmitenNews.com - Ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) perlu dinaikkan. Center of Economics and Law Studies (CELIOS) menyarankan kenaikan ambang batas PTKP sebagai alternatif skema bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan wilayah domisili pekerja.

“Publik menuntutnya adalah PTKP itu ditingkatkan, karena yang sekarang Rp4,5 juta itu terlalu rendah. Seharusnya kelas menengah yang sampai Rp7 juta per bulan itu tidak perlu dikenakan PPh 21,” kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira dalam taklimat media di Jakarta, Kamis (4/9/2025).

PTKP perlu ditingkatkan guna memberikan ruang disposable income atau pendapatan yang dapat dibelanjakan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi. Dengan begitu, kemampuan belanja masyarakat meningkat dan bisa menggerakkan roda ekonomi daerah secara langsung.

Pembagian PPh 21 berdasarkan domisili juga berpotensi menimbulkan masalah baru mengingat 7,59 juta orang berstatus komuter, artinya lokasi tempat bekerja dan domisili berbeda.

Wacana itu pun dianggap tidak sejalan dengan tuntutan masyarakat yang berharap kenaikan tunjangan DPR dibatalkan.

“Jadi, bukan bagi hasil PPh 21, karena ini tidak menjawab persoalan,” ujar Bhima Yudhistira.

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengaku tengah mengkaji skema bagi hasil berdasarkan domisili karyawan.

“Kami  sedang melakukan exercise untuk melakukan bagi hasil berdasarkan domisili dari karyawan yang bersangkutan,” kata Wamenkeu Anggito Abimanyu dalam Rapat Kerja Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan agenda pembahasan RUU APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya, Selasa (2/9/2025).

Terapkan beragam pajak progresif total penerimaan negara bisa Rp524 triliun

Sebelumnya, Center of Economics and Law Studies (Celios) melalui hasil studinya memperkirakan, total penerimaan negara dapat mencapai Rp524 triliun per tahun, jika pemerintah menerapkan beragam pajak progresif.

Nilai tersebut bersumber dari 10 instrumen pajak dan dua instrumen kebijakan yang diusulkan Celios. Mulai dari pajak kekayaan, pajak karbon, hingga rekomendasi kebijakan untuk penurunan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen ke delapan persen.

“Ada banyak sekali komponen pajak alternatif, yang kemudian kita coba elaborasi, hitung satu persatu, sebagian menggunakan data baseline dari standar internasional, kemudian kita estimasi dan kita jumlahkan pajak alternatif ini,” kata Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar saat diskusi di Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Media Wahyudi merinci, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan mencapai Rp81,6 triliun, pajak karbon Rp76,4 triliun, pajak produksi batu bara Rp66,5 triliun. Lalu, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp50 triliun, dan pajak penghilangan keanekaragaman hayati Rp48,6 triliun.

Kemudian,  pajak digital Rp29,5 triliun, peningkatan tarif pajak warisan Rp20 triliun, pajak capital gain Rp7 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp4,7 triliun, serta pajak cukai minuman berpemanis dalam kemasan Rp3,9 triliun.

Dua instrumen kebijakan yang diusulkan yakni pengakhiran insentif pajak yang pro konglomerat diproyeksikan dapat mengumpulkan penerimaan sebesar Rp137,4 triliun serta potensi penurunan tarif PPN dari 11 persen ke 8 persen sebesar Rp1 triliun.

Terkait perhitungan pajak kekayaan, Celios menggunakan asumsi tarif dua persen dari total 16 kekayaan pada 50 orang terkaya di Indonesia. Barisan 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp15 triliun dan rerata kekayaannya mencapai Rp159 triliun. ***