EmitenNews.com - Bursa saham Indonesia menutup sesi perdagangan di pekan terakhir Januari, Jumat (28/1), dengan membukukan kenaikan IHSG sebesar 0,52% ke posisi 6.645. Namun secara mingguan IHSG melemah dari sesi penutupan sepekan sebelumnya di level 6.726. Investor asing mencatatkan arus masuk ekuitas sebesar USD13 juta dalam sepekan terakhir.


PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR) mencatat beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi pergerakan dana di pasar modal dalam dan luar negeri, antara lain;


Update Covid; pemberian vaksinasi Covid hingga pekan ini telah mencapai 9,98 miliar dosis yang mewakili 4,12 miliar populasi yang divaksinasi penuh, atau 52,3% dari jumlah penduduk global. Indonesia telah memberikan 310 juta dosis untuk 125 juta vaksinasi lengkap atau 44,8% dari total populasi.


The Fed mengekspektasikan akan segera tiba saatnya untuk menaikkan kisaran target federal funds rate , karena inflasi jauh di atas 2% dan pasar tenaga kerja terlihat solid. Pengurangan neraca USD8,9 triliun akan dimulai setelah kenaikan suku bunga dan bank sentral bermaksud untuk mengurangi kepemilikan sekuritasnya secara bertahap dengan menyesuaikan jumlah yang diinvestasikan kembali dari pembayaran pokok yang diterima dari sekuritas yang disimpan di System Open Market Account.


Bank of Canada mempertahankan target suku bunga overnight 0,25% dalam rapat pertama tahun 2022, sejalan dengan perkiraan. Namun bank sentral menghapus panduan ke depan untuk mempertahankan suku bunga kebijakan pada batas bawah efektif, karena ekonomi yang secara keseluruhan mengendur sudah mulai bergerak kembali, membuka jalan untuk kenaikan suku bunga pertama sejak 2018.


Tingkat inflasi tahunan di Australia naik menjadi 3,5% pada Q4 2021 dari 3,0% pada Q3 dan di atas perkiraan pasar sebesar 3,2%. Kenaikan harga bahan bakar, masalah rantai pasokan global, kekurangan bahan, dan peningkatan permintaan menjelang liburan Natal menjadi pendorong utama inflasi.


Investasi asing langsung ke Indonesia (tidak termasuk investasi di perbankan dan sektor minyak dan gas) melonjak 10,1% YoY ke rekor tertinggi Rp122,3 triliun (USD8,50 miliar) pada kuartal keempat tahun 2021. Jumlah tersebut meningkat tajam dari penurunan 2,7% di kuartal keempat tahun 2021, di tengah upaya pemerintah untuk melonggarkan aturan bisnis dan perizinan seiring membaiknya situasi COVID-19.


Dengan memperhatikan berbagai perkembangan selama sepekan terakhir, berikut pendapat Ashmore dalam Weekly Commentary , Jumat (28/1)


Mencermati kembali kelas aset Utang

Karena banyak ekonom dan pembuat kebijakan bertindak berdasarkan pada pandangan inflasi yang lebih permanen dan struktural, Asmore berupaya meninjau kembali kelas aset utang dan mempertanyakan apakah peluang di EM dan pendapatan tetap 


Indonesia masih bernilai? Dengan sikap The Fed menjadi lebih hawkish dan berita bahwa mereka berencana untuk menaikkan suku bunga pada awal Maret 2022, Ashmore mempertanyakan apakah siklus kenaikan suku bunga akan berkelanjutan mengingat latar belakang makro global.


Menurut Ashmore, pada tahun 2022, para ekonom melihat pemulihan tingkat pertumbuhan terjadi di seluruh dunia, namun untuk menghindari risiko stagflasi, The Fed mungkin perlu memastikan bahwa suku bunga riil dapat menghambat pengeluaran fiskal dan laju konsumsi, terutama setelah suku bunga menjadi lebih tinggi dan tidak ada lagi suntikan likuiditas. "Hal ini memberikan ruang kewenangan bebas bagi negara-negara dan perekonomian yang mungkin memiliki mesin pertumbuhan lain," tulis Ashmore.


Apakah Indonesia termasuk? Menurut Ashmore, Indonesia baru saja mengakhiri tahun 2021 dengan kinerja fiskal yang baik dan diperkirakan akan semakin meningkatkan posisi di tahun 2022. Keduanya mengarah pada potensi penurunan emisi obligasi tahun ini, yang positif bagi stabilitas harga obligasi. "Kedua, begitu kita melihat pemasok energi global menjadi normal, volatilitas harga energi saat ini akan berhenti," tulis Ashmore.


Pada tahun lalu, ekspor komoditas Indonesia yang kuat telah menyebabkan Neraca Pembayaran yang solid yang menyebabkan Rupiah menguat terutama dibandingkan dengan negara-negara EM lainnya. Ashmore menunjukkan bukti menarik, bahwa setiap arus keluar USD1 miliar di pasar modal hanya mengakibatkan pelemahan Rupiah 0,5%, jauh lebih rendah dari 3,5% pada tahun 2015.


"Pengurangan ketergantungan pada dolar, salah satu tujuan utama Pemerintah saat ini, mungkin sudah mulai dirasakan secara keseluruhan. Rekor FDI yang tinggi di triwulan IV tahun 2021 semakin meningkatkan kepercayaan kami terhadap prospek BoP Indonesia pada tahun 2022," ungkap Ashmore.


Mengapa barbel lebih baik daripada peluru? Ashmore menyebutkan, terus melihat latar belakang pasokan obligasi yang rendah dan Rupiah yang stabil sebagai nilai tambah untuk utang Indonesia. Namun demikian, dimanakah selanjutnya kita harus berinvestasi dengan memperhatikan durasi? "Kami terus melihat bahwa durasi pendek memiliki risiko jangka pendek dengan potensi langkah pre-emptive BI; meningkatkan GWM dan kemungkinan diikuti oleh tingkat TD yang lebih tinggi," papar Ashmore.


Di situlah tempat sebagian besar investor berada saat ini - yang mungkin menimbulkan volatilitas jangka pendek. "Oleh karena itu strategi reksadana obligasi aktif kami tetap menyeimbangkan antara durasi pendek dan panjang untuk menjaga risiko jangka pendek sambil mengelola untuk mendapatkan potensi keuntungan dari kondisi makro yang kuat".