EmitenNews - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan POJK Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Lewat POJK yang merupakan pengganti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1995 ini modal disetor lembaga-lembaga penyelenggara kegiatan di pasar modal dinaikkan.


Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana menyampaikan, latar belakang penyusunan POJK tersebut adalah adanya pengaturan dan pengawasan baru pada kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. Sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 21 tahun 2011, pengawas kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal telah beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.


"Pengaturan ini juga mengakomodir hal-hal baru dan perkembangan industri sektor jasa keuangan secara global," kata dia dalam media briefing, secara virtual, Selasa (9/3).


Dia menjelaskan, di dalam POJK baru ini terdapat sejumlah perubahan jumlah modal disetor bagi bursa efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP), dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP).


Pada pasal 3  misalnya, jumlah modal disetor untuk bursa efek paling sedikit Rp100 miliar. Jumlah ini lebih besar dibandingkan PP 45/1995 yang hanya Rp7,5 miliar. Sedangkan untuk LKP dan LPP pada pasal 18 jumlah modal disetor paling sedikit Rp200 miliar. Naik drastis dari aturan lama yang hanya Rp15 miliar.


Kemudian di pasal 41, Perusahaan Efek (PE) yang menjalankan kegiatan sebagai penjamin emisi efek wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp50 miliar. Naik dari sebelumnya Rp10 miliar. Sedangkan untuk yang menjalankan kegiatan perantara perdagangan modal setornya naik dari Rp500 juta menjadi Rp30 miliar.


Untuk PE yang menjalankan kegiatan sebagai manajer investasi modal setornya naik menjadi Rp25 miliar (sebelumnya Rp500 juta). Yang menjalankan kegiatan sebagai penjamin emisi efek dan manajer investasi Rp75miliar. Sedangkan yang menjalankan kegiatan sebagai perantara pedagang efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah dan manajer investasi naik menjadi Rp55 miliar (sebelumnya Rp10,5 miliar).


Dalam POJK baru, anggota direksi dan anggota dewan komisaris Bursa Efek sebagai Self-Regulatory Organization (SRO), LKP maupun LPP diangkat untuk masa jabatan selama empat tahun dan dapat diangkat kembali. Sementara di aturan PP 45/1995 masa jabatan hanya berlaku sampai tiga tahun saja.


Dalam POJK ini, juga memuat aturan baru yakni mengenai kapitalisasi saldo laba ditahan menjadi modal disetor bursa efek. Dalam BAB II pasal 13 dijelaskan, bursa efek dapat melakukan kapitalisasi saldo laba ditahan menjadi modal disetor setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan emegang saham bursa efek dan OJK.


"Kapitalisasi saldo laba ditahan tersebut dilakukan dengan peningkatan nilai nominal saham bursa efek," kata Djustini.


Kemudian kapitalisasi saldo laba ditahan menjadi modal disetor LKP dan LPP juga menjadi bagian hal baru dalam POJK ini. Di dalam BAB III pasal 24 LKP dan LPP dapat melakukan kapitalisasi saldo laba ditahan menjadi modal disetor setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan pemegang saham dan OJK.


"Ini juga pasal baru yang kita tambahkan di POJK Nomor 3 Tahun 2021," jelasnya.


Hal lain yang juga diatur dalam ketentuan baru adalah penyesuaian nilai denda untuk keterlambatan penyampaian laporan atau pengumuman kepada masyarakat. Seperti kata Djustini, setiap pihak yang terlambat menyampaikan laporan atau pengumuman setelah melewati batas waktu dalam peraturan tersebut akan dianggap tidak menyampaikan laporan atau pengumuman. "Denda kami naikkan dari aturan lama karena mengikuti perkembangan zaman," katanya.


Rincian denda yang harus dibayarkan adalah sebagai berikut; untuk pihak SRO dari sebelumnya Rp500 ribu per hari jadi Rp1 juta per hari. Untuk emiten dari Rp1 juta per hari, naik jadi Rp2 juta per hari. Lalu emiten kecil hingga menengah jadi Rp1 juta per hari, perusahaan publik jadi Rp500 ribu per hari, untuk profesi penunjang PM Rp100 ribu per hari, dan maksimal Rp100 juta. Berikutnya untuk PI, BAE, PE, WPE, lembaga penunjang PM dan lailn-lain dendanya sebesar Rp200 ribu per hari.


Denda lebih besar lagi akan menanti bila laporan dan pengumuman tidak diserahkan sama sekali. Denda untuk emiten dan SRO sebesar Rp1 miliar untuk laporan tahunan dan tengah tahunan, lalu denda Rp250 juta untuk laporan triwulanan, bulanan, harian, dan insidentil. Bagi Emiten skala kecil hingga menengah dendanya Rp100 juta untuk laporan tahunan dan tengah tahunan, dan Rp25 juta buat laporan triwulanan, bulanan, harian, dan insidentil.(*)