EmitenNews.com - Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global mencapai 3% pada 2023. Bank Dunia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih rendah dari yang diantisipasi dan mencapai 4,6% pada tahun 2022 dan 4,7% pada tahun 2023.

 

Setelah lebih dari dua tahun pandemi, dampak dari invasi Rusia ke Ukraina akan memperlambat kegiatan ekonomi global secara tajam. Pertumbuhan global sekarang diperkirakan akan melambat dari 5,7% pada tahun 2021 menjadi 2,9% pada tahun 2022.

 

"Sebagai akibat dari perang di Ukraina, harga untuk sebagian besar komoditas diperkirakan akan jauh lebih tinggi di tahun 2022 daripada di tahun 2021; sementara harga-harga komoditas diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2022, dalam jangka menengah harga-harga tersebut diproyeksikan tetap tinggi," kata Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab, dalam peluncuran laporan IEP bertajuk Financial Deepening, for Stronger Growht and Sustainable Recovery, Rabu (22/6).

 

Hal ini meningkatkan kekhawatiran atas kerawanan ketahanan pangan dan kemiskinan, serta meningkatnya inflas. Ini dapat menyebabkan kondisi keuangan yang lebih ketat, yang memperbesar kerentanan sector keuangan. Pertumbuhan di negara-negara pasar berkembang dan negara-negara berkembang (emerging market and developing economies, EMDEs) tahun ini telah diturunkan menjadi 3,4 persen, sebagai dampak negatif dari invasi di Ukraina lebih dari mengimbangi dorongan jangka pendek untuk beberapa eksportir komoditas dari harga energi yang lebih tinggi.

 

"Tidak ada percepatan pertumbuhan yang diproyeksikan tahun depan: pertumbuhan global diperkirakan masih lemah, hanya naik tipis menjadi 3% yang pada tahun 2023, karena banyak hambatan - khususnya harga-harga komoditas yang tinggi dan pengetatan moneter yang berkelanjutan - diperkirakan akan bertahan," ujar Habib.

 

Prospek global tersebut menimbulkan risiko merugikan yang signifikan bagi pertumbuhan di Indonesia Pada skenario baseline, pertumbuhan PDB yang diproyeksikan sebesar 5,1% pada tahun 2022, meningkat menjadi 5,3% pada tahun 2023. Ini diasumsikan oleh beberapa hal: pelepasan permintaan yang tertahan (pent-up demand), kepercayaan konsumen yang meningkat, dan nilai tukar perdagangan (terms of trade) yang lebih baik.

 

Inflasi diproyeksikan meningkat menjadi 3,6% (rata-rata tahunan) seiring peningkatan permintaan dalam negeri dan harga-harga komoditas yang lebih tinggi. Kondisi pembiayaan eksternal diperkirakan akan mengetat meskipun ekspor komoditas diproyeksikan berkontribusi terhadap surplus transaksi berjalan.

 

Lingkungan ekonomi global dapat menciptakan tekanan-tekanan utama terhadap pertumbuhan. Hal ini dapat memicu skenario penurunan dengan tekanan inflasi yang lebih tinggi yang memaksa realokasi fiskal dari pembelanjaan pro-pertumbuhan ke subsidi yang tidak ditargetkan, penurunan permintaan untuk ekspor komoditas, dan pembiayaan eksternal yang ketat yang berdampak pada biaya pinjaman dan keinginan investasi sektor swasta.

 

"Dalam skenario seperti itu, pertumbuhan Indonesia bisa lebih rendah dari yang diantisipasi dan mencapai 4,6% pada tahun 2022 dan 4,7% pada tahun 2023," jelas Habib.