Dalam penjelasan Majelis Hakim ini, AALI bersama dua afiliasinya yaitu PT Perkebunan Lembah Bhakti dan PT Sawit Asahan Indah terbukti melakukan tindakan wanprestasi. Dikutip dari berbagai sumber, MLP sebagai penggugat sebenarnya adalah mitra AALI dan dua anak usahanya sejak 2019.

Namun, sejak pertengahan 2021, telah terjadi pembatalan kontrak sebesar 11 ribu ton CPO secara sepihak oleh AALI karena pada masa tersebut terjadi penurunan harga CPO secara signifikan dan AALI merasa harga CPO yang terlanjur disepakati dengan MLP terlalu tinggi, pada akhirnya antara AALI dan MLP menghentikan uang DP dan tak terjadi pembayaran.

Bahkan PT Pasangkayu anak perusahaan PT Astra Agro Lestari di Sulawesi Barat (Sulbar) dilaporkan oleh Kelompok Masyarakat dan Aktivis Ke Kejaksaan Agung RI. Pelapor adalah Dedi pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama sejumlah petani melaporkan PT.Pasangkayu itu ke Kejagung.

Laporan Dedi itu atas dugaan beberapa pelanggaran yang ditemukan di lapangan. “Dan hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat minim dan lemahnya pengawasan Perangkat Daerah setempat,” ujar Dedi. Menurutnya laporan Ke Kejagung RI dengan dugaan terjadinya Perambahan kawasan Hutan dan Penyerobotan lahan melebihi batas Hak Guna Usaha (HGU). Dedi bersama sejumlah tokoh masyarakat dan Aktivis mengungkap dugaan adanya perluasan kebun Sawit di kawasan hutan lindung.

Kata Dedi PT Pasangkayu beroperasi lebih dari dua dekade dan sampai tahun 2024 belum membangun Kebun Plasma atau mengeluarkan 20% lahan perkebunannya untuk perkebunan Rakyat. “Beberapa regulasi dalam Konstitusi yang diduga telah di langgar oleh PT Pasangkayu, anak perusahaan astra agro lestari itu.  Misalnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja,”tegas Dedi.