EmitenNews.com - Dalam bisnis, kerugian sudah menjadi risiko perusahaan. Termasuk PT Pertamina (Persero). Karena Pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengalami kerugian adalah sebuah risiko bisnis. Badan usaha, menghadapi dua keadaan, mencetak untung, atau mengalami kerugian.

Demikian kurang lebih tanggapan Wakil Presiden Ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla saat menjadi saksi meringankan bagi terdakwa eks Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/5/2024). 

"Kalau suatu langkah bisnis, cuma dua kemungkinan, untung atau rugi. Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka semua BUMN karya harus dihukum, ini bahayanya. Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka semua perusahaan negara harus dihukum, dan itu akan menghancurkan sistem," kata Ketua Umum PMI Pusat yang karib disapa JK itu.

Dalam penilaian Jusuf Kalla, tindak-tanduk BUMN berbeda dengan lembaga atau kementerian. Sebagai unit bisnis, gerak Pertamina juga dipengaruhi oleh kebijakan, selain faktor luar, seperti kondisi ekonomi saat kebijakan sedang dieksekusi. 

"Masalah pandemi Covid-19, misalnya, siapapun Dirut Pertamina saat itu, siapa pun dirut perusahaan karya pasti rugi pada waktu itu," kata JK. 

Pasalnya, pada masa pandemi Covid-19, permintaan terkait energi sangat berkurang disebabkan aktivitas manusia yang melambat. Saat itu, banyak industri ditutup, mall dan pusat perbelanjaan dibatasi, konsumsi listrik tiba-tiba turun secara drastis. 

"Ketika itu, pasti harga turun. Pasti rugi. Kalau Dirut Pertamina dihukum karena itu, saya kira kita bertindak terlalu menganiaya berlebihan," tegas pemilik konglomerasi Kalla Group tersebut.

Bagi JK, jika Dirut Pertamina Karen Agustriawan dihukum karena kerugian Pertamina, bakal tidak ada kalangan profesional yang ingin bekerja di BUMN. "Rugi dua tahun langsung dihukum, itu sangat berbahaya, kemudian tidak ada orang mau berinovasi apabila itu terjadi."

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Sabtu (18/5/2024), Jaksa KPK mendakwa Karen Agustriawan melakukan tindakan melawan hukum. Pasalnya, dirut Pertamina tahun 2009-2014 itu, melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan CCL LLC, yang berujung pada kerugian Pertamina yang digawanginya. 

Jaksa KPK menilai Karen Agustriawan tidak meminta persetujuan RUPS

Menurut Jaksa, Karen Agustriawan melakukan pelanggaran itu, bersama dengan eks Senior Vice President (SVP) Gas & Power PT Pertamina Yenni Andayani dan Direktur Gas PT Pertamina, Hari Karyuliarto. 

Dakwaan Jaksa KPK menyebutkan, tindakan Karen Agustriawan memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di Amerika Serikat tanpa pedoman pengadaan yang jelas. Pengembangan kilang LNG ini hanya diberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko. 

Parahnya lagi, menurut KPK, Karen Agustriawan, tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero) dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 

Dalam perjalanannya, semua kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik. Sebab, terjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Kejadian ini lantas membuat Pertamina menjual rugi LNG di pasar internasional. 

Melalui tindakan tersebut, Jaksa KPK menduga Karen Agustriawan telah memperkaya diri sendiri sebanyak Rp1.091.280.281,81 dan USD104,016,65. 

Karen Agustriawan juga diduga turut memperkaya Corpus Christi Liquedaction sebesar USD113,839,186.60. 

Dengan begitu, total kerugian negara sebesar USD113.839.186,60, berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik (BPK) RI dan Instansi terkait lainnya Nomor: 74/LHP/XXI/12/2023 tanggal 29 Desember 2023.