EmitenNews.com - Keikutsertaan dalam KTT Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Inggris dimanfaatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, untuk menawarkan investasi di bidang energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia.


Menteri ESDM menyebut peluang investasi EBT di Indonesia cukup terbuka lebar. Besarnya potensi bisnis EBT itu terlihat dari potensi EBT yang belum dioptimalkan.


"Peluang pertama dan utama tentu saja Indonesia memiliki sumber daya baru dan terbarukan yang melimpah, terutama solar. Diikuti oleh hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan lautan, dengan total potensi 648,3 GW, termasuk potensi uranium untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Hingga saat ini, baru 2% dari total potensi yang telah dimanfaatkan," kata Arifin.


Di samping itu, harga energi baru dan terbarukan mulai tumbuh kompetitif, khususnya harga Solar PV global yang cenderung menurun. Apalagi didukung dengan pengembangan teknologi baru seperti pumped storage, hidrogen, dan Battery Energy Storage System (BESS) sehingga akan mengoptimalkan pemanfaatan potensi EBT yang melimpah di Indonesia. "Ini bisa bersaing dengan energi fosil," ungkapnya.


Meningkatnya kebutuhan energi, jelas Arifin, mendorong pemerintah untuk terus menyediakan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat terutama di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) dengan harga terjangkau dan tetap memperhatikan ketersediaan sumber daya energi setempat. Kondisi in sejalan dengan pemenuhan target rasio elektrifikasi 100% di tahun 2022 mendatang.


"Tentu ini menjadi peluang bagi pengembangan EBT karena harga bahan bakar fosil di daerah terpencil bisa begitu mahal, sedangkan sumber EBT tersedia dan dapat dimanfaatkan secara lokal," paparnya.


Pemerintah sendiri terus memperkuat kerangka peraturan untuk memastikan keberhasilan transisi energi di Indonesia. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030 memberikan porsi lebih besar kepada EBT.


"Energi terbarukan akan berkontribusi lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik, di mana 20,9 GW sumber energi terbarukan untuk listrik, atau 51,6% dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga tahun 2030," jelas Arifin.


Di samping itu, pemerintah juga menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur tentang mekanisme perdagangan karbon dan pajak atas karbon.


"Salah satu prinsip utama dari kebijakan tersebut adalah mengenakan pajak karbon pada kegiatan yang menghasilkan karbon dan memberi insentif efisiensi-karbon," ungkapnya.


Arifin mengakui, penggunaan EBT sebagai sumber energi masih memeliki sejumlah tantangan. Seperti intermitten Surya dan Angin, keterbatasan kemampuan jaringan untuk menyerap listrik dari EBT, kurangnya minat dari lembaga keuangan untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan karena risikonya yang tinggi.


Kemudian pembiayaan berbunga tinggi, biaya investasi yang tinggi untuk beberapa energi terbarukan seperti panas bumi, dan keterbatasan kemampuan industri dalam negeri, khususnya di bidang teknologi.(fj)