EmitenNews.com - Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang luas bagi perekonomian nasional sehingga mendorong Pemerintah bersama otoritas terkait untuk melakukan intervensi melalui berbagai kebijakan yang bersifat extra ordinary dalam penanganan krisis kesehatan, pencegahan dampak krisis ekonomi, dan upaya pemulihan ekonomi.


Berbagai kebijakan ini mengakibatkan melonjaknya kebutuhan pembiayaan, yang pada akhirnya memberikan dampak bukan hanya kepada Pemerintah Pusat, tapi juga terhadap entitas sektor publik lainnya seperti BI dan BUMN tertentu.


Sinergi diantara Pemerintah Pusat, Bank Indonesia, dan BUMN dalam penyediaan kebutuhan pembiayaan APBN di masa krisis, berhasil meminimalkan paparan risiko eksternal, terutama dari aspek fluktuasi nilai tukar Rupiah dan biaya utang yang memberikan dampak positif terhadap terkendalinya saldo utang valas dan belanja bunga utang.


Untuk mengetahui secara holistik dan komprehensif kondisi neraca sektor publik negara, dapat dilihat dari Laporan Analisis Risiko Sovereign Asset and Liability Management (SALM) yang telah dipublikasikan secara berkala setiap tahun sejak 2019.


Pada akhir tahun 2022 ini, DJPPR kembali melakukan publikasi Laporan Analisis Risiko SALM dengan menggunakan basis data neraca masing-masing entitas sektor publik periode tahun 2018-2021 dan menggunakan indikator risiko yang mencakup risiko likuiditas, solvabilitas, dan nilai tukar.


Secara Umum, kondisi neraca konsolidasi pada tahun 2021 masih memiliki ekuitas positif atau net asset, dengan risiko yang relatif terkendali meskipun mendapatkan tekanan sebagai konsekuensi dari kebijakan counter cyclical di masa krisis.


Beberapa parameter mengalami peningkatan eksposur risiko seperti likuiditas (Current Ratio) sebesar 0,87 dan solvabilitas (Debt to Equity Ratio) sebesar 1,80. Untuk eksposur nilai tukar pada neraca konsolidasi terjaga stabil, yang ditunjukkan dari peningkatan cadangan devisa sebesar 6,63%, serta tingkat utang valas Pemerintah Pusat yang terkendali dengan peningkatan hanya 0,64% dari tahun sebelumnya.


Secara Spesifik, pada level individu, Pemerintah Pusat memiliki likuiditas yang memadai dan dari sisi solvabilitas debt-to-GDP ratio sedikit meningkat mencapai 40,74%. Rasio tersebut masih jauh di bawah batas ambang rasio utang 60% berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


Dari sisi Bank Indonesia, likuiditas dan solvabilitas masih dalam kondisi yang baik yang tercermin dengan nilai cadangan devisa yang terjaga setara dengan 7-10 bulan pembiayaan impor dan pembayaran ULN Pemerintah pada tahun 2021. Selain itu, rasio modal Bank Indonesia tahun 2021 berada pada level yang aman, yaitu sebesar 8,20%.


Dari sisi BUMN, untuk BUMN sektor keuangan secara umum menunjukkan perbaikan kinerja tercermin pada peningkatan profit dan penurunan non-performing loans (NPL). Untuk BUMN sektor nonkeuangan, secara umum mengalami perbaikan kinerja pada tahun 2021.


Dalam rangka menjaga neraca negara dalam kondisi sehat sekaligus mengendalikan berbagai risiko terkait secara efektif, diperlukan langkah-langkah mitigasi risiko. Antara lain meningkatkan kewaspadaan terhadap faktor-faktor risiko baik di tingkat domestik maupun global yang dapat berpengaruh terhadap neraca konsolidasi sektor publik. Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kemudahan akses modal bagi UMKM serta percepatan pembangunan infrastruktur.


Mengendalikan peningkatan utang valas melalui optimalisasi sumber pembiayaan domestik, pengembangan pembiayaan kreatif serta penyusunan regulasi terkait penerbitan utang luar negeri BUMN dan swasta. Memperkuat cadangan devisa melalui penguatan ekspor, pengendalian impor, pengembangan pariwisata nasional dan perbaikan iklim investasi serta memperkuat kerangka kerja pengelolaan risiko keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan.(*)