EmitenNews.com - Pemerintah harus membuat sistem pendidikan yang seimbang antara hak guru untuk mendisiplinkan siswa dan hak orang tua dalam melindungi anak-anaknya. Perlindungan bagi siswa harus dikelola dengan bijak melalui regulasi dan kebijakan pendidikan yang komprehensif. Harapannya tidak ada lagi guru yang dilaporkan orang tua siswa ke polisi setelah berusaha meningkatkan kedisiplinan muridnya. Mari bercermin dari kasus guru honorer Supriyani di Sulawesi Tenggara.

Mengutip dpr.go.id, Sabtu (26/10/2024), Wakil Ketua Komisi X DPR RI MY Esti Wijayati mengemukakan, idealnya, dalam mendidik anak-anak harus ada kolaborasi yang baik antara semua pihak, sekolah dalam hal ini guru, orang tua, maupun lingkungan sekitar agar membentuk karakter anak yang baik. Ini penting, karena masa depan Indonesia ada di anak-anak generasi penerus bangsa.

MY Esti Wijayati mengungkapkan hal itu, menyoroti kasus guru honorer Supriyani yang menjadi tersangka usai dituduh menganiaya siswa anak polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Kasus Suryani menjadi contoh betapa rentannya posisi profesi guru saat ini, terutama guru honorer.  

“Guru honorer seperti Ibu Supriyani sering kali berada dalam posisi rentan. Mereka harus memenuhi tanggung jawab mengajar, tetapi juga berhadapan dengan risiko hukum dalam proses melakukan pembinaan pada murid,” katanya. 

Celakanya, sistem pendidikan yang seharusnya melindungi guru dan memberi mereka dukungan dalam menjalankan tugas justru malah menjadi ancaman tersendiri bagi para guru. Esti menyebutkan, kasus guru Supriyani menjadi contoh betapa rentannya profesi guru saat ini, khususnya bagi para guru honorer yang perjuangannya dalam menjalankan tugas sangat besar.

Profesi guru dilindungi Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Perlindungan itu mencakup perlindungan dari kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil. 

Aturan tersebut juga mengatur perlindungan guru dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan pihak lain yang terkait dengan tugas pendidik dan tenaga kependidikan. Profesi guru jelas memiliki perlindungan saat dirinya melakukan proses belajar mengajar. 

“Namun, kasus Supriyani menunjukkan intervensi orang tua serta intimidasi yang dapat mengancam keamanan guru dalam menjalankan perannya," papar Esti. 

Untuk itu, Esti mendorong pemerintah dan satuan pendidikan ikut memberikan pendampingan sesuai amanat Peraturan Kemendikbud 10 Nomor 2017 pasal 2 hingga 4, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Pemerintah Daerah.

Seperti diketahui kasus Supriyani mendapat banyak perhatian setelah kisahnya viral di media sosial. Pengajar di SDN 4 Baito itu dituduh melakukan pemukulan terhadap siswa kelas 1 berinisial MC yang merupakan anak personel kepolisian di Polsek Baito. 

Meski begitu, Supriyani yang sesungguhnya mengajar di kelas lain, dan memastikan MC, bukanlah muridnya, dan tidak dikenalnya, ditambah adanya kesaksian yang mendukung Supriyani tidak bersalah, kasusnya terus bergulir sampai ke pengadilan. Sidang perdana digelar, kemarin.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) sebagai kuasa hukum Supriyani pun menyebutkan ada banyak kejanggalan dalam kasus itu. Salah satunya, MC mengaku kepada ibunya mengalami luka di paha karena jatuh di sawah. Namun, setelah didesak ayahnya, anak tersebut mengubah pengakuan dan menyatakan ia dianiaya Supriyani. 

"Yang paling mencolok dalam kasus Ibu Supriyani adalah terkait intervensi dan reaksi orang tua siswa yang menurut saya berlebihan. Terutama ketika salah satu pihak memiliki kekuasaan atau pengaruh, tentunya ini membebani guru," ujarnya. 

Kejanggalan lainnya, pihak kuasa hukum maupun Supriyani menyatakan saat hari kejadian yang dituduhkan, Supriyani berada di kelas berbeda dengan anak pelapor. Sebab, Supriyani bukan merupakan wali kelas siswa MC. 

Selain itu, Supriyani yang telah mengabdi sebagai guru honorer selama 16 tahun itu dituduh menganiaya pada pukul 10.00 Waktu Indonesia Tengah (Wita).  Menurut pihak LBH, waktu kejadian itu tidak dapat dibenarkan mengingat di jam tersebut seluruh siswa sudah pulang. 

Dalam dakwaan pihak kejaksaan, anak pelapor disebut dipukul satu kali dengan sapu. Sementara itu, berdasarkan kesaksian guru lain yang melihat langsung kondisi siswa MC, luka anak pelapor itu terlihat seperti luka melepuh, bukan seperti bekas luka pukulan.