EmitenNews.com  - Untuk mengoptimalkan jumlah perusahaan menengah yang telah memenuhi persyaratan untuk IPO, due diligence sebaiknya dilakukan oleh pihak eksternal Bursa Efek Indonesia (BEI) yang memahami industri calon emiten.

“Ini seperti di London, karena tentu pihak eksternal yang ditunjuk lebih paham seperti apa kondisi industri daripada regulator,” ujar praktisi pasar modal Dipo Satria Ramli, di acara diskusi Indonesia Democracy Bridge Research Institut (Ind-Bri), Selasa (5/8).

Selain itu, Ia juga membandingkan dengan Bursa Efek London dimana papan pengembangan tidak menggunakan standar papan utama, “kalau di Korea, untuk menambah jumlah calon emiten, regulator melakukan subsidi biaya dan penyesuaian regulasi guna mendorong lebih banyak perusahaan masuk ke pasar modal.”

Senada, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Budi Frensidy menilai saham-saham yang memiliki kapitalisasi pasar jumbo yang masuk LQ45 performanya justru kalah oleh saham non LQ45. hal ini menunjukkan kinerja IHSG saat ini lebih banyak ditopang oleh saham-saham di luar kelompok blue chip, “padahal bursa saham saat ini tidak berpihak pada perusahaan menengah.”

Ia juga menyarankan agar tidak dipaksakan IPO perusahaan jumbo karena ujung-ujungnya akan merugikan investor ritel, contohnya saham GOTO yang jumlah saham beredarnya mencapai triliunan lembar dan hingga saat ini harga sahamnya tidak mampu kembali ke harga saat IPO.

Pada kesempatan tersebut, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan perusahaan menengah tetap memiliki peluang besar untuk melantai di bursa, asalkan diberi ruang tumbuh yang terstruktur.

Menurutnya selama ini ketimpangan antara emiten besar dan menengah membuat pilihan investasi di pasar saham menjadi terbatas. Padahal, jika perusahaan menengah diberi kesempatan lebih luas, mereka bisa memperluas basis partisipasi dan mendorong likuiditas pasar yang lebih sehat.

Peneliti Indonesia Democracy Bridge Research Institute (Ind-Bri) Fauzan Luthsa menyebut perusahaan menengah yang IPO berkontribusi atas pertumbuhan ekonomi, “mereka menggunakan dana hasil IPO nya untuk perputaran modal kerja, penambahan kapasitas produksi dan penambahan tenaga kerja. Ini akan berdampak pada daya beli.” 

Ia mengapresiasi kementerian UMKM yang mendorong usaha menengah untuk IPO. “Kita butuh diversifikasi skala emiten agar pilihan investor lebih beragam dan mendorong masyarakat tertarik berinvestasi di pasar saham,” tandasnya. ***