EmitenNews.com - Industri kretek nasional menghadapi sejumlah masalah krusial, salah satu masalah utama itu, maraknya peredaran rokok ilegal. Karena itu, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta adanya kebijakan tegas dan konkrit dari pemerintah untuk melindungi usaha tembakau nasional dari berbagai hambatan.

"Produk-produk rokok yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara semakin membanjiri Tanah Air, ini akan mengganggu produksi rokok legal," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI Agus Parmuji dalam keterangannya di Jakarta, Senin (23/6/2025).

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan bahwa rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44 persen.

Di sisi lain, kebijakan tarif cukai yang eksesif akan berdampak langsung pada volume produksi batang rokok, lesunya daya beli rokok legal yang akhirnya dihentikannya pembelian tembakau petani oleh beberapa pabrik rokok besar dan menengah.

Karena itu, APTI mengharapkan pemerintah dan DPR tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) mendatang. Harapannya, industri kretek nasional legal bisa pulih terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya. Selama ini pungutan negara terhadap industri kretek sudah mencapai 70 - 82 persen pada setiap batang rokok legal.

APTI juga menyoroti keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024, khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 – 463 yang dinilai semakin mengancam kelangsungan industri kretek.

"Kami memerlukan deregulasi. Pemerintah perlu meninjau ulang atau sinkronisasi peraturan satu dengan lainnya sehingga memberikan rasa keadilan demi cita-cita kemandirian ekonomi nasional," kata Ketua Forum Pertembakauan Temanggung itu. 

Selain itu polemik kemasan polos (plain packaging) sebagai duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) juga mengganggu jutaan petani tembakau. Sementara itu kebijakan peralihan ke kemasan polos dapat memperburuk kontraksi industri kretek nasional yang sudah menghadapi tekanan ekonomi berat.

Agus Parmuji memprediksi, ketika tidak ada kajian ulang tentang kebijakan pertembakauan nasional dan tidak ada perlindungan terhadap industri kretek nasional, industri kretek besar dan menengah akan tumbang. Itu berarti negara akan mengalami kerugian sangat besar dari sisi penerimaan cukai rokok.

Masuk akal kalau, jutaan petani tembakau, petani cengkeh, dan buruh rokok legal sangat berharap pada Presiden Prabowo Subianto dan Dirjen Bea Cukai Letjen Djaka Budi Utama untuk melindungi mereka. Termasuk industri kretek legal nasional yang selama ini menjadi bantalan ekonomi penerimaan negara dari cukai dan pajak.

"Kami berharap pemerintah berkomitmen merumuskan kebijakan cukai hasil tembakau secara moderat, deliberatif dan berkeadilan demi melindungi ekosistem pertembakauan nasional," ujar Agus Parmuji.

Sebelumnya anggota Komisi XI DPR RI Eric Hermawan mengemukakan kebijakan eksesif atas tarif cukai rokok dalam beberapa tahun belakangan ini memberikan dampak berganda (multiplier effect) baik di sektor hulu dan hilir mata rantai tembakau.

"Pemerintah selama ini hanya memikirkan target penerimaan tanpa mempertimbangkan dampak kenaikan cukai rokok," katanya kepada pers, Selasa (23/5/2025).

Karena itu, Eric Hermawan menilai kebijakan cukai yang eksesif tersebut harus dibenahi. Cukai harus dibuat stabil sehingga pertumbuhan industri rokok pun akan meningkat.

"Bahwa kebijakan cukai hasil tembakau ini perlu dikaji ulang," kata Bendahara Umum Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama itu.

Sementara itu, Bupati Temanggung Jawa Tengah, Agus Setyawan menyatakan tembakau memiliki dampak ganda yang tinggi sekaligus masih menjadi tulang punggung bagi perekonomian daerah.

Di tengah himpitan masalah regulasi terkait pertembakauan yang memicu turunnya daya beli masyarakat terhadap produk rokok, kondisi pabrikan rokok masih belum stabil lantaran cukai rokok yang kian tinggi.