EmitenNews.com - Pemerintah tetap mempertimbangkan pemberian alokasi subsidi energi di tengah krisis energi global guna menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri dalam pemulihan ekonomi.


Pemerintah telah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp209,9 triliun di tahun ini, dengan rincian Rp139,4 triliun subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG), serta Rp70,5 triliun untuk subsidi listrik.


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, pada tahun 2022 realisasi subsidi energi mencapai Rp157,6 triliun atau lebih rendah dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp211,1 triliun. Kondisi minyak mentah yang mengalami penurunan di kuartal tiga turut andil pada penurunan realisasi subsidi BBM dan LPG yang mencapai Rp97,8 triliun, lebih rendah dari target sebesar Rp149,4 triliun.


"Tahun 2022 itu kita lihat realisasinya lebih rendah daripada targetnya. Terutama penurunannya di BBM dan LPG, yang tidak separah seperti yang kita perkirakan sebelumnya. Karena asumsi crude kita yang targetnya tinggi, ternyata menjelang kuartal tiga terjadi penurunan harga komoditi migas," ungkap Arifin pada Konferensi Pers Capaian Kinerja Tahun 2022 dan Program Kerja Kementerian ESDM Tahun 2023 di Jakarta, Senin (30/1).


Di lain sisi, lanjut Arifin, subsidi untuk listrik tahun 2022 terealisasi Rp59,8 triliun dari target sebesar Rp61,7 triliun. Subsidi listrik dapat terjaga berkat adanya pemberlakuan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) batubara dan harga gas untuk kelistrikan.


"Dengan program DMO, harga gas untuk kelistrikan USD6 dolar. Jadi faktor yang mempengaruhinya adalah harga gas internasional dan juga faktor nilai tukar dolar terhadap rupiah," tutur Arifin.


Di tahun ini, subsidi masih cukup besar melihat masih bergejolaknya kondisi geopolitik Eropa imbas konflik Rusia-Ukraina. "Di tahun 2023 kita memperkirakan kemungkinan jumlah alokasi subsidi cukup besar. Kita tahu masih ada konflik yang belum habis dan ini tentu saja menyebabkan penurunan sektor supplai karena terhambatnya salah satu supplier besar yaitu Rusia," jelas Arifin.


Selain itu, Arifin mengungkapkan bahwa peningkatan permintaan China terhadap batubara turut ambil bagian dalam penetapan subsidi energi dalam negeri. Negeri tirai bambu tersebut sedang mempertimbangkan untuk melonggarkan larangan impornya. "Peningkatan kebutuhan demand di China dan juga beberapa negara lainnya disebabkan kebijakan barunya, sudah mulai membuka meningkatkan demand (batubara)," tandasnya.(fj)