Kasus Tom, Ekonom: Ketidakpastian Hukum Tingkatkan Risiko Investasi

Ekonom Didik J Rachbini mengingatkan, hukum yang buruk akan menyebabkan biaya transasi meningkat, mahal dan berakibat terhadap, biaya investasi meningkat
EmitenNews.com - Praktek kriminalisasi hukum terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih (Tom) Lembong, membuat ekonom senior Indef Prof Dr Didik J Rachbini angkat bicara. Rektor Universitas Paramadina ini memaparkan bagaimana pengaruh hukum yang buruk terhadap Ekonomi Indonesia.
Didik menekankan hukum yang lemah, tidak adil, tidak konsisten, atau mudah dipolitisi dan diintervensi oleh kekuasaan bisa berdampak negatif serius terhadap perekonomian nasional.
"Argumen dan penjelasannya sangat gamblang; Kalangan bisnis dan semua Investor, baik domestik dan maupun asing, sangat memerlukan kepastian hukum. Kepastian hukum yang labil dan buruk muka akan dihindari oleh investor," tandasnya.
"Jika sistem hukum tidak bisa menjamin kontrak, menyelesaikan sengketa dengan adil, atau bebas dari intervensi politik, maka investor enggan menanamkan modal karena akan berakibat risiko berat, rugi dan bahkan bangkrut," tambah Didik.
Hukum yang buruk akan menyebabkan biaya transasi meningkat, mahal dan berakibat terhadap, biaya investasi meningkat dan tidak efisien. Biaya transaksi adalah biang kerok atau bahkan setan buruk di dalam, ekonomi dan dunia bisnis, yang sering muncul dari sistem hukum yang buruk.
Menurutnya hukum yang buruk, tidak efisien dan tidak dapat diandalkan bagi kepastian usaha akan menambah beban dunia usaha dan ekonomi nasional. Prosedur hukum yang berbelit, panjang dan tidak jelas sangat bwesar pengaruhnya terhadap ekonomi. Mekanisme penyelesaian hukum dan sengketa menjadi mahal.
Di dalam sistem hukum yang buruk, efisiensi ekonomi menurun dan bahkan rusak sama sekali. "Contoh ekstrem adalah negara-negara dengan sistem hukum yang lemah cenderung jatuh dalam jebakan negara gagal (failed state) atau negara predatoris, yang menjadikan ekonomi hanya alat penghisapan oleh elite kekuasaan," tambahnya.
Didik mengakui praktek kriminalisasi hukum karena intervensi politik terjadi pada semua regim. "Tetapi sangat vulgar pada masa Jokowi. Kasus Tom Lembong ada indikasi kuat intervensi kekuasaan terhadap hukum, yang merupakan warisan Jokowi," kecamnya.
Tidak ada lagi motto yang suci di dalam dunia hukum: lebih baik membebaskan satu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. "Prinsip ini adalah keadilan paling mendasar di dalam dunia hukum tetapi dibuang di tong sampah oleh pemimpin-pemimpin, yang juga lahior dari demokrasi," tegas Didik.
"Yang ada sekarang, seperti kasus Tom Lembong, jika mereka lawan politik, kesalahan dicari-cari, seperti pada kasus pilpres yang lalu. Politik kemudian menjadi anasir jahat di dalam demokrasi," pungkasnya.(*)
Related News

BTN Pastikan Tambahan Likuiditas Rp25T Terserap Optimal Akhir 2025

Pelaku Usaha Wait and See, Rp2.372T Pinjaman Belum Dicairkan

Rupiah Menguat 0,30 Persen pada September 2025

Rusak Kredibilitas Pemerintah, Menkeu Purbaya Tak Dukung Tax Amnesty

Wamenperin: Kerja Sama BRICS Penting untuk Masa Depan Industri Global

NFA Ingatkan Kewaspadaan Ketersediaan Bapok Jelang Akhir Tahun