EmitenNews.com - Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) semakin dipandang sebagai solusi utama mengurangi emisi karbon dioksida (CO2). Bahan bakar tersebut berpotensi besar dalam mendukung pencapaian target pengurangan emisi global.


Dalam upaya tersebut, peran aktif semua pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah, produsen bahan bakar, produsen pesawat, maskapai penerbangan, bandara, investor, dan lembaga keuangan dinilai sangat penting.


Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, berpartisipasi dalam acara “2024 ICAO APAC Regional Seminar on Environment” yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, tanggal 7-8 Agustus 2024. Seminar ini diselenggarakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dan dihadiri berbagai perwakilan industri dan lembaga internasional, termasuk Civil Aviation Authority dari beberapa negara Asia Pasifik.


Acara ini dimulai dengan sambutan dari Jane Hupe dari ICAO Headquarters dan Suttipong Koongpol dari Civil Aviation Authority of Thailand (CAAT). Pada hari pertama, peserta seminar mendengarkan paparan dari perwakilan dari Department of Civil Aviation of Brunei Darussalam, Japan Civil Aviation Bureau, Civil Aviation Authority of Malaysia, Civil Aviation Authority of Singapore, dan Civil Aviation Authority of Thailand.


Kemudian, pada hari kedua seminar menampilkan pembicara dari Civil Aviation Authority of Vietnam, Airbus, Boeing, All Nippon Airways (ANA), Topsoe, FlyORO, Bangchak Corporation, Air Asia, Neste, MUFG Bank, dan IRENA.


Pada hari kedua seminar, Deputi Dida mempresentasikan materi berjudul “Indonesia’s Potential for Sustainable Aviation Fuel (SAF) Development”. Poin utama yang disampaikan dalam forum tersebut meliputi beberapa hal seperti berikut ini.


Pertama, mengenai pasar dan potensi Indonesia. Negara ini merupakan salah satu pasar industri penerbangan terbesar di dunia dengan 251 bandara yang ada dan 50 bandara baru dalam rencana. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar global, Indonesia memproduksi 3,9 juta ton used cooking oil (UCO) pada 2023 dan berencana memproduksi 238 juta liter SAF per tahun pada 2026.


“Poin kedua adalah manfaat dan tantangan SAF. Bahan bakar itu dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dianggap sebagai energi bersih. Namun, penggunaannya secara komersial masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan bahan baku, biaya tinggi, dan infrastruktur belum memadai,” jelas Deputi Dida.


Ketiga, mengenai uji coba SAF di Indonesia. Pengujian SAF telah dilakukan di Indonesia sejak 2020 dengan hasil uji coba yang berhasil termasuk co-process J2.4 dan uji terbang pada berbagai jenis pesawat. Uji terbang terbaru pada kuartal ketiga 2023 di Garuda Boeing 737-800 menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja dibandingkan bahan bakar fosil konvensional.


Keempat, tentang potensi Palm Kernel Expeller (PKE) atau bungkil sawit. Hal yang merupakan produk sampingan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit itu berpotensi diubah menjadi bioethanol yang dapat digunakan sebagai bahan baku SAF. Satu ton PKE dapat menghasilkan 250 liter bioethanol, dengan potensi PKE yang diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun. Indonesia sedang dalam proses mengusulkan PKE sebagai sumber bahan bakar SAF yang masuk dalam daftar CORSIA.


“Seminar ini menegaskan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam pengembangan SAF dan pengurangan emisi global. Dengan langkah-langkah strategis yang diambil, diharapkan SAF akan memainkan peran penting dalam masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan,” tutup Deputi Dida.(*)