EmitenNews.com - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, mengkhawatirkan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Days Repo Rate (BI7DDR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen, membawa implikasi bagi masyarakat bawah dalam membeli rumah secara kredit. Masyarakat kelas bawah diperkirakan akan makin sulit mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR).


"Ketika BI menaikkan suku bunga itu bukan tanpa konsekuensi. Otomatis bank-bank Himbara dan swasta itu juga akan menaikkan suku bunganya. Ini akan menyulitkan masyarakat kelas bawah. Orang mau kredit rumah makin susah," kata Anis, Selasa (25/10).


Padahal, menurut data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), masyarakat Indonesia yang mempunyai hunian layak tidak sampai 50 persen. Selebihnya, masyarakat tersebut ada yang kontrak, tinggal di hunian tak layak, dan sebagainya.


Persoalan tersebut, kata Anis, membuat Kementerian PUPR sering meminta tambahan anggaran untuk membangun rumah-rumah yang layak.


"Itu kalau mau kredit rumah dengan kenaikan suku bunga ini akan susah. Yang punya pinjaman di bank ketika suku bunga naik akan susah. Orang pada akhirnya tidak akan menggerakkan uangnya. Orang luar yang punya dananya di sini dia akan ke luar (capital outflow)," jelas Politisi PKS tersebut".


Seperti diketahui, kenaikan BI 7DDR tersebut dalam rangka untuk mewaspadai adanya capital outflow dari emerging market seperti Indonesia. Sebab, pada September 2022, Bank Sentral Amerika (FED) telah menaikkan suku bunga hingga 75 bps atau kisaran 3 persen-3,25 persen.


Dampaknya, BI pada 21-22 Sept 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7DDR sebesar 50 bps menjadi 4,75 persen. Suku bunga deposit facility sebesar 4 persen dan suku bunga lending facility sebesar 5,5 persen.


Bahkan, BI kembali menaikkan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur BI Oktober 2022. Kali ini, BI mengerek BI 7-Days Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen. Selain mengerek suku bunga acuan, BI juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 4 persen dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps menjadi 5,5 persen.


"Fluktuasi capital outflow perlu diwaspadai dan diantisipasi dampak kebijakan moneter global yang mempengaruhi cost of fund. Memang secara logika saat suku bunga tinggi di The Fed-nya tinggi, kenapa harus dia (perusahaan dan masyarakat kelas atas) tanam di emerging market, lebih baik modal ditarik lagi ke bunga yang lebih tinggi," jelas Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan (BAKN) DPR RI tersebut.(fj)