EmitenNews.com - Indonesia tengah memasuki fase strategis dalam memperkuat hubungan ekonominya dengan Uni Eropa (UE) melalui perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Selesainya penyelesaian perjanjian IEU-CEPA akan meningkatkan peluang ekspor Indonesia ke UE.

Hubungan ekonomi antara Indonesia dan UE terus menunjukan tren positif dengan nilai perdagangan mencapai USD30,1 miliar pada 2024. Neraca perdagangan antara kedua pihak juga tetap surplus bagi Indonesia, dengan peningkatan signifikan dari USD2,5 miliar di 2023 menjadi USD 4,5 miliar pada 2024.

Pada 6 Juni 2025 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang memimpin Delegasi Indonesia bertemu dengan European Union Commissioner for Trade and Economic Security Maroš Šef?ovi?. Pertemuan menghasilkan beberapa hal penting yakni antara lain status IEU-CEPA yang sudah mencapai penyelesaian tahap akhir yakni sekitar lebih dari 90% text drafting, dengan beberapa isu teknis di tingkat Chief Negotiators dan Working Groups.

“Proses perundingan substansi IEU-CEPA ini sudah masuk tahap terakhir, dan hampir seluruh substansi sudah disepakati. Itu dari hasil pertemuan kemarin di Eropa, di Brussels. Per hari ini juga saya sudah mendapatkan konfirmasi dari Komisioner Maros terkait hasil resume rapat yang mereka juga sudah sepakati. Oleh karena itu, kita sedang menunggu semoga kedua pemimpin, Presiden Prabowo dan Presiden Uni Eropa, nanti pada waktunya akan mengumumkan bersama,” ungkap Menko Airlangga dalam Diseminasi Perundingan IEU-CEPA, di Jakarta, Jumat (13/06).

Menko Airlangga melanjutkan, pada saat Komisioner Maros datang ke Indonesia di September 2025 mendatang, sudah ada semacam notulen atau memorandum yang bisa ditandatangani. Dari sana akan dilanjutkan proses secara hukum, di mana ini membutuhkan ratifikasi dari 27 Negara Anggota Uni Eropa dan juga di Indonesia.

Adapun beberapa komoditas utama yang mendominasi ekspor Indonesia ke UE yakni minyak kelapa sawit dan turunannya, bijih tembaga, fatty acids (oleokimia), produk alas kaki, bungkil kelapa, besi baja, lemak cokelat dan kopra, serta produk berbasis karet dan mesin.

Pada 2024, UE menyumbang 6,5% atau sekitar USD17,35 miliar dari total ekspor Indonesia yang sebesar USD264,70 miliar. Dalam kurun waktu 2021 hingga 2024, kinerja ekspor Indonesia ke UE menunjukkan tren dinamis. Nilai ekspor Indonesia ke UE mengalami kenaikan tertinggi pada 2022 dengan nilai ekspor sebesar USD21,53 miliar, namun mengalami penurunan di tahun berikutnya, sebelum kembali naik sedikit menjadi USD17,35 miliar pada 2024.

Uni Eropa siap mencapai kesepakatan terbaik pada kepentingan Indonesia pada sektor energi terbarukan, pengembangan kendaraan listrik, produk alas kaki dan pakaian, minyak sawit dan perikanan. Terkait ekspor produk perikanan, Pemerintah Indonesia juga meminta UE memberikan preferensi yang serupa dengan negara mitra lain. Oleh karena itu, UE bersedia membuka lebih banyak akses pasar untuk produk unggulan Indonesia seperti kelapa sawit, sepatu, tekstil, dan ikan kaleng (terutama tuna).

“Untuk memaksimalkan manfaat tersebut, Indonesia perlu memastikan kesiapan industri domestik, memperkuat ekosistem pendukung ekspor, serta melakukan harmonisasi kebijakan lintas sektor,” jelas Menko Airlangga.

Lebih lanjut, studi yang dilakukan oleh CSIS (2021) dan Sustainability Impact Assessment oleh Komisi Eropa (2020) memperkuat optimisme terhadap manfaat ekonomi IEU-CEPA bagi Indonesia. Diproyeksikan bahwa PDB Indonesia akan tumbuh sebesar 0,19%, dengan tambahan pendapatan nasional mencapai USD2,8 miliar, dan ekspor Indonesia berpotensi meningkat hingga 57,76% dalam tiga tahun ke depan.

“Jadi kalau ekspor kita naik 50 persen itu setara dengan Vietnam ataupun Malaysia tahun ini. Kalau ini yang kita dorong dengan adanya IEU-CEPA ini nanti tarif-tarif (ekspor komoditas) yang unggulan kita yang sekarang bisa 8-12 persen itu bisa turun ke 0 persen,” tutur Menko Airlangga.

Implementasi IEU-CEPA memang diharapkan akan membuka peluang besar untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Eropa karena kedua pihak belum mempunyai mekanisme Free Trade Agreement (FTA).

“Sebagai pembanding, pengalaman negara-negara Asia lain yang telah lebih dahulu menjalin perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa, seperti Vietnam dan Singapura, menunjukkan dampak positif yang signifikan terhadap kinerja ekspor mereka,” pungkas Menko Airlangga.(*)