EmitenNews.com - Pemerintah telah menerbitkan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Aturan larangan zonasi rokok 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak ini menuai kebingungan dalam PP tersebut menimbulkan sejumlah polemik.


Pengusaha ritel sampai dengan produsen rokok menegaskan, pihaknya tidak pernah menjual rokok kepada anak di bawah umur. Mereka senada mengatakan, pihaknya selalu melakukan penjualan rokok sesuai Standard Operation Procedure (SOP), di mana rokok dilarang keras dijual kepada anak-anak di bawah umur.


Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menilai, pengecekan KTP saat proses jual-beli rokok sudah cukup mengawasi penjualan rokok ke anak di bawah umur. Selain itu, memposisikan rak rokok di bagian khusus dan dijaga petugas kasir juga sudah merupakan langkah yang tepat dan sesuai dengan SOP.


"Kita membantu pemerintah lho selama ini, jual rokok tuh nggak boleh dipegang atau bisa diambil langsung pengunjung. Kita tanya umurnya dulu, cek KTP, dan naruhnya juga harus di posisi yang ada petugas kasirnya. Itu wajib SOP-nya, sangat ketat di situ, dan nggak mungkin lah kita main-main dalam penjualan rokok," kata Budihardjo dalam sebuah Diskusi Media di Jakarta, Selasa (13/8/2024).


Selain pengusaha ritel, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menegaskan, pihaknya tidak pernah menjual rokok kepada anak di bawah umur. Ia justru khawatir dengan banyaknya aturan yang mengikat justru membuat peredaran rokok ilegal semakin masif.


Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) mengatakan, pihaknya mendukung pemerintah dalam mencegah generasi muda untuk tidak merokok. Namun, ia menilai pemerintah tetap harus meninjau kembali atau menghapus aturan terkait Kesehatan yang termaktub dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, karena sangat berdampak kepada ekonomi kerakyatan.


Di antara klausul yang paling banyak disoroti dalam PP Kesehatan tersebut ialah Pasal 434 yang mengatur tentang larangan penjualan rokok dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, larangan penjualan rokok eceran, serta larangan pemajangan produk tembakau di tempat berlalu lalang.


Aturan ini dinilai dapat membawa dampak negatif bagi keberlangsungan berbagai sektor usaha yang berhubungan langsung dengan industri tembakau.


Dari sisi pedagang kecil dan warung kelontong, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, mengeluhkan pengesahan PP Kesehatan ini dapat mengancam mata pencaharian para pedagang kecil yang bergantung pada pendapatan dari penjualan rokok eceran untuk menghidupi keluarganya. Efeknya juga tidak main-main, terang Ali, berujung pada meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan di Tanah Air.


“Ada 78.000 desa, 8.000 kelurahan, di setiap titiknyanya ada tempat pendidikan dan tempat perdagangan. 1 dari 5 toko kelontong akan terdampak dengan adanya PP ini. Artinya apa? KERIS menilai PP 28/2024 ini tidak adil, diskriminatif, mematikan puluhan juta pelaku ekonomi rakyat UMKM di Indonesia, serta melanggar Pancasila dan UUD 1945. Seharusnya, mulai hari ini, sampai 2029, Indonesia memperluas lapangan kerja dan memperpanjang batas usia kerja. Sekarang, PP ini malah mempersempit lapangan kerja dan mempersempit usaha,” pungkas Ali.


Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, menyebutkan aturan larangan zonasi rokok 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak ini menuai kebingungan, di mana disaat HIPPINDO berusaha meningkatkan ekonomi, namun aturan ini justru menekan ritel offline yang baru mulai membaik, setelah banyaknya upaya pemulihan kondisi ekonomi ritel.


“Aturan ini tidak hanya berdampak kepada pedagang ritel, tapi juga kepada karyawan dan tenaga kerjanya. Total kerugian kami bisa mencapai Rp21 triliun per tahun jika PP 28/2024 ini dijalankan. Selain itu, di mall juga banyak pusat permainan anak-anak, maka mustahil untuk pelaku usaha ritel langsung serta merta berhenti menjual rokok. Pengawasan di lapangan pun tidak dapat dijalankan dengan baik karena aturan ini membingungkan” ungkapnya.


Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Nicholas Mandey, juga menilai aturan pelarangan ini dapat menjadi pasal karet dan menyulitkan implementasi di lapangan. “Apapun yang berkaitan dengan pelarangan, secara luas itu pasti memberikan dampak untuk ekonomi. Tanpa adanya contingency plan, ekonomi pasti akan tergerus,” imbuhnya.


Roy menekankan aturan zonasi penjualan bukanlah solusi yang tepat. Pemerintah semestinya lebih fokus melakukan edukasi berkelanjutan mengenai dampak merokok dan pemberantasan rokok ilegal. Pembatasan penjualan rokok legal tanpa adanya perubahan perilaku dan edukasi yang memadai tidak akan efektif.


Menurut Roy, pembatasan penjualan rokok dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 sudah cukup ketat. Ia khawatir bahwa jika aturan baru ini diterapkan, maka akan ada lebih banyak pasal karet yang menambah kompleksitas peraturan dan tidak menyelesaikan masalah terkait rokok ilegal.


“Kami sudah tidak menjual produk tembakau ke anak di bawah usia 21 tahun, sudah berjalan selama ini. Tapi, masalahnya saat ini adalah banyaknya rokok ilegal yang murah dan mudah didapat. Ini yang mestinya dibasmi, bukan di jualannya," tuturnya.


Sebagai langkah ke depan, Roy meminta agar pemerintah melibatkan semua pemangku kepentingan terkait, seperti pedagang dan tenaga kerja lainnya yang terdampak, untuk berdiskusi mengenai PP 28/2024 ini. Ia berharap ada perbaikan dan perubahan yang melibatkan pelaku usaha, sehingga mereka tidak merasa terabaikan.