EmitenNews.com -Melihat ke tahun 2024, terasa seperti Deja vu. Pada akhir tahun 2022, pasar memperkirakan akan terjadi resesi dan the Fed akan memangkas suku bunga pada tahun 2023 karena inflasi berada di level tertinggi dalam beberapa dekade. Semakin mendekati ke tahun 2024, pertanyaan yang sama muncul di benak Schroders Indonesia. Schroders Indonesia mencoba mengulik faktor – faktor yang dapat menggerakkan pasar obligasi Indonesia yang tidak terlepas dari dinamika pasar obligasi dunia yaitu US Treasury.

Schroders Indonesia dalam risetnya yang dikutip, Kamis (4/1/2024), mengakui bahwa pasar telah memperhitungkan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve sebesar 150bps pada akhir tahun 2024 dan soft landing telah menjadi pandangan konsensus di AS. Probabilitas terjadinya resesi telah turun menjadi 50%. Agar pasar obligasi menguat, perlu kejutan dari sisi pertumbuhan dan inflasi dengan penurunan yang lebih besar dari perkiraan pasar, atau pemangkasan suku bunga yang lebih cepat dari yang diperkirakan pasar. Kami yakin bahwa siklus kenaikan suku bunga selama hampir dua tahun ini pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan lebih besar dalam tabungan, mengurangi konsumsi, dan harga harus menyesuaikan, dan hal tersebut akan menguntungkan bagi pasar obligasi. Kami yakin bahwa siklus kenaikan suku bunga selama hampir dua tahun ini pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan lebih besar dalam tabungan, mengurangi konsumsi, dan harga harus menyesuaikan, dan hal tersebut akan menguntungkan bagi pasar obligasi.

Faktor lain yang membuat yield tetap tinggi adalah ketidakseimbangan pasokan dan permintaan Surat Utang Amerika Serikat (US Treasury). Defisit fiskal di AS tinggi dan penerbitan surat utang membengkak, membuat kewaspadaan meningkat terutama dengan utang AS yang melampaui batas utang berisiko kembali menyebabkan terjadinya penutupan pemerintahan (shutdown). Meskipun kami berpikir bahwa ketidakseimbangan ini akan tetap ada pada tahun 2024, Quantitative Tightening ("QT") oleh Federal Reserve mungkin akan terjadi tahun depan bersamaan dengan pemangkasan suku bunga, hal tersebut akan mengurangi tekanan pada pembiayaan. Dengan mempertimbangkan semua faktor, perlambatan pertumbuhan ekonomi beserta inflasi menunjukan penurunan akan mempermudah untuk Fed melakukan pelonggaran moneter. Pada kondisi seperti ini, yield obligasi AS kemungkinan akan bisa turun.

Beralih ke pasar obligasi lokal, yield IndoGB pada akhir November berada di level 6,61%, turun 31bps dari posisi akhir tahun sebelumnya, sementara yield AS mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebesar 72bps menjadi 4,33%. Penguatan Dolar AS secara luas terutama pada paruh kedua tahun 2023 dan kenaikan yield US Treasury yang cukup besar menyebabkan arus keluar dari pasar negara-negara berkembang. Setelah pandemi, investor asing belum kembali ke pasar Indonesia dengan signifikan, dengan tingkat kepemilikan asing saat ini hanya sebesar 14,7%, bahkan setelah arus keluar yang cukup besar pada tahun 2022. Fenomena ini tidak mengejutkan karena investor asing tidak hanya terpapar risiko durasi, tetapi juga terpapar risiko pergerakan nilai tukar yang dapat dengan cepat menghapus keuntungan yang diperoleh dari obligasi, sehingga menghalangi mereka untuk berinvestasi ke pasar obligasi Indonesia. Namun, meningkatnya partisipasi investor lokal telah mendukung yield obligasi dan mencegahnya melampaui 7% saat terjadi aksi jual besar-besaran pada bulan Oktober. Hal tersebut menyebabkan penyempitan yield antara IndoGB dan US Treasury menjadi 228bps, sebuah level di mana investor asing akan ragu-ragu untuk kembali masuk karena berada dalam kisaran yang sangat ketat secara historis.

Meskipun valuasi mahal, kekuatan fundamental Indonesia tetap baik, yang memberikan sebuah dasar untuk berinvestasi pada obligasi Indonesia. Sebagai investor pendapatan tetap, kami berfokus pada kemampuan pemerintah untuk membayar bunga dan pokok pinjaman. Indikator-indikator yang relevan seperti defisit fiskal, rasio utang/PDB, dan rasio beban bunga menjadi penting. Hal ini juga akan mempengaruhi pasokan obligasi pemerintah yang juga dipantau dengan cermat oleh investor obligasi.

Komitmen Kementerian Keuangan untuk kembali ke level defisit di bawah -3% dari PDB telah terbukti dan tetap dipertahankan pada tahun 2023. Perumusan Anggaran 2024 juga menjadi bukti dari komitmen yang terus berlanjut. Kami yakin bahwa defisit fiskal pada akhir tahun akan berada di bawah Proyeksi Anggaran 2023 yang sebesar -2,28%, mengingat realisasi fiskal pada bulan Oktober hanya sebesar -0,003% dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki cukup ruang untuk membelanjakan anggaran pada dua bulan tersisa di tahun 2023.

Untuk ke depannya, kami merasa nyaman dengan target pemerintah sebesar -2,29% pada tahun 2024. Dengan strategi ini, Indonesia berada di jalur untuk mencapai target rasio utang/PDB yang lebih rendah sebesar 38-39% pada tahun 2024. Selain itu persentase pembayaran bunga utang terhadap penerimaan juga mengalami penurunan sejak pasca pandemi menjadi 14,7% pada tahun 2022 dari puncaknya sebesar 19,1% pada tahun 2020.

Tingkat defisit fiskal yang terkendali berarti bahwa penerbitan pembiayaan neto akan dapat diperkirakan dan stabil, meskipun jatuh tempo yang tinggi di tahun 2024 akan menyebabkan jumlah penerbitan bruto yang lebih tinggi. Debt Management Office ("DMO") telah bersikap konservatif dalam strategi pendanaannya. Saldo Anggaran Lebih ("SAL") di akhir tahun ini diperkirakan akan lebih tinggi dari level tertinggi tahun 2022 sebesar Rp479,8 triliun, karena kami memperkirakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran ("SilPA") akan cukup besar sebagai hasil dari defisit fiskal yang lebih kecil dari yang dianggarkan. 

Pemerintah akan terus melanjutkan lelang untuk memperoleh pembiayaan cadangan untuk tahun depan. Investor obligasi merasa nyaman dengan tingkat kas yang tinggi di Kementerian Keuangan, namun di sisi lain, penyerapan dana baik dari Kementerian Keuangan maupun dari SRBI dapat menyebabkan kebijakan menjadi terlalu restriktif dan mungkin tidak mengoptimalkan penggunaan fiskal untuk mendorong pertumbuhan. Oleh karena itu, kami tidak berpikir bahwa pengelolaan fiskal akan menimbulkan risiko pada tahun 2024, meskipun tahun tersebut merupakan tahun pemilu.

Secara keseluruhan, kami optimis terhadap pasar obligasi IndoGB menuju tahun 2024. Kami memperkirakan bahwa US Treasury akan menguat tahun depan dan DXY akan cenderung menurun. Tren ini cenderung menguntungkan bagi mata uang dan suku bunga negara-negara berkembang secara umum. Spread suku bunga lokal akan meningkatkan daya tarik obligasi IndoGB dan menstabilkan nilai tukar Rupiah. Selain itu, fundamental Indonesia yang tetap baik, inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang terkendali, dan defisit fiskal yang dapat dikelola, ditambah dengan tingkat suku bunga riil yang cukup layak sebesar 4,22%, menjadikan IndoGB pilihan yang lebih baik bagi investor asing untuk menangkap manfaat rally. Investor domestik juga diharapkan terus mendukung pasar obligasi dengan obligasi berbunga tetap ("FR") dan obligasi Sukuk ("PBS") yang saat ini sangat mudah diakses oleh investor ritel.

Selain itu, penerbitan reguler atau ritel meningkatkan kehadiran investor domestik dalam kepemilikan obligasi Indonesia. Meskipun tahun pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian dan kehati-hatian, namun kami berpikir bahwa tahun tersebut akan berjalan dengan cukup lancar. Setelah Federal Reserve (Fed) menurunkan suku bunga, risiko aliran keluar dari negara-negara berkembang kemungkinan akan berkurang, dan dengan demikian membuka jalan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga. Ini akan menjadi sinyal bullish bagi IndoGB jangka pendek dan inflasi yang lebih rendah serta fiskal yang stabil yang juga akan mendukung penurunan yield jangka panjang. Sebagai hasilnya, kami memperkirakan kurva akan mencuram dengan kemiringan positif.

Kesimpulannya, tahun 2024 akan menjadi tahun obligasi. Rally obligasi yang tertunda di tahun 2023 sekarang bergeser ke tahun 2024. Kami berpikir bahwa berita tentang pemangkasan suku bunga oleh the Fed akan menjadi tema dominan di tahun depan dan ini akan menguntungkan investor negara berkembang, khususnya yang memiliki inflasi rendah, fiskal yang prudent, dan pertumbuhan yang stabil seperti Indonesia. Satu risiko utama dari pandangan ini adalah bahwa tahun 2024 adalah tahun pemilu untuk Indonesia, yang berarti bahwa mungkin ada perubahan dalam kebijakan, terutama dalam pengelolaan fiskal. Terdapat ketidakpastian apakah pemerintahan selanjutnya akan melanjutkan pendekatan yang lebih konservatif dan berhati-hati atau akankah mereka mengadopsi pendekatan ekspansif yang dapat berimplikasi pada defisit fiskal yang lebih lebar. Dalam skenario terakhir, kita mungkin akan melihat penjualan obligasi dengan mata uang lokal.