EmitenNews.com - Tren suku bunga tinggi berdampak penciutan likuiditas pasar keuangan, termasuk sektor perbankan. Di tengah kondisi tersebut, likuiditas Bank Negara Indonesia (BBNI) terjaga tetap sehat, dan mampu mendorong kredit sesuai target.

Berdasar laporan keuangan bulanan BNI (bank only) pada Mei 2024 menunjukkan posisi kredit berada di level Rp709 triliun, tumbuh 12,6 persen secara year-on-year (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Lalu, sisi pendanaan, total dana pihak ketiga (DPK) bank berlogo 46 itu, mencapai Rp788 triliun, naik 7,2 persen yoy. 

Dengan demikian, posisi Loan to Deposit Ratio (LDR) BNI per akhir Mei 2024 berada di angka 90 persen. Tidak disangkal, saat ini pengetatan likuiditas terjadi pada industri perbankan Indonesia. Meski begitu, BNI masih memiliki likuiditas cukup baik. ”Karena BNI juga mendapat insentif Giro Wajib Minimum (GWM) tambahan akan membantu likuiditas BNI dalam penyaluran kredit,” tutur Analis Trimegah Sekuritas Jonathan Gunawan.

LDR BNI masih berada di level 85,7 persen pada April 2024, dan masih lebih baik dari rata-rata LDR bank KBMI 3 di kisaran 89,5 persen. Artinya, BNI masih memiliki ruang lebar untuk menyalurkan kredit. Likuiditas BNI masih cukup untuk mencapai target pertumbuhan kredit 9,0-11,0 persen YoY. ”Ada insentif GWM lebih besar untuk BNI dapat menambah likuiditas,” imbuhnya.

Sebagai tambahan, saat ini PBV BNI sudah mendekati 1x, sedang bank KBMI 4 lainnya sudah di atas 2x, bahkan BCA sudah lebih dari 5x. Saat ini, LDR BNI mencapai 90 persen sehingga masih dalam tahap sehat, dan optimal. "Apalagi di tengah kondisi era likuiditas masih ketat seperti sekarang ini. Masih dalam batas ideal,” ucap Head of Research MNC Sekuritas Victoria Venny. 

LDR merupakan rasio konservatif. Namun, bank tidak hanya dapat menghimpun dana dari masyarakat, melainkan juga dengan menerbitkan instrumen keuangan seperti obligasi dan alternatif lain. “Persaingan terjadi di antara bank untuk menghimpun dana dari masyarakat. Namun, dengan suku bunga tinggi, Cost of Fund (CoF) juga naik. Bank perlu mengatur strategi pendanaan optimal, dan terdiversifikasi sehingga CoF bisa terjaga dan NIM dapat dipertahankan,” ulas Venny.

Pada BNI, diversifikasi pendanaan dilakukan dengan menerbitkan global bond senilai USD500 juta, merupakan serangkaian aktivitas pendanaan dilakukan sejak 2020. Dengan likuiditas saat ini, baik dari pendanaan masyarakat maupun posisi surat berharga diterbitkan Rp31 triliun per akhir Mei 2024, BNI mampu mencapai target sasaran kredit 9-11 persen pada 2024 juga sejalan kinerja Mei 2024.

Selain aspek likuiditas menjadi sorotan, sumber pendanaan bank juga turut diperhatikan. Posisi dana murah atau Current Account Saving Account (CASA) BNI pada akhir Mei 2024 mencapai 71 persen, membaik dibanding periode Mei 2023 mencapai 70 persen.

Perbaikan rasio CASA BNI itu, ditopang optimalisasi pendanaan dari giro tumbuh 13,8 persen yoy, sehingga meningkatkan total dana murah bank 9,0 persen yoy, jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan deposito 3,1 persen. Aspek kualitas kredit juga tidak luput menjadi pertimbangan karena nanti akan berdampak pada beban pencadangan bank. 

Kualitas kredit memburuk akan membuat pencadangan bank meningkat. Namun, pada BNI, beban pencadangan atau provisi justru menurun. Cost of Credit (CoC) BNI lima bulan awal 2024 setara 1,0 persen. CoC bank BUMN dengan aset lebih dari Rp1.000 triliun itu, membaik 30 basis points (bps) secara tahunan akibat perbaikan kualitas aset.

Realisasi CoC BNI pada akhir Mei 2024 itu, seiring target manajemen di bawah 1,4 persen. Itu sejalan perbaikan kualitas kredit tercermin dari rasio kredit macet alias Non-Performing Loan (NPL) mencapai angka 2 persen pada kuartal I-2024 dibanding edisi sama 2023 di angka 2,8 persen.

Di sisi lain, cakupan pencadangan atas NPL atau coverage BNI juga makin tebal. Pada kuartal I-2024, mencapai 330,2 persen. Sementara itu, pada akhir kuartal I-2023 mencapai 286,8 persen. BNI mengestimasi Net Interest Margin (NIM) akan lebih tinggi 10-20 bps dari posisi akhir kuartal I-2024. Itu didorong strategi loan repricing dan strategi reduksi CoF (*)