EmitenNews.Com - Negara-negara di Asia mencoba segalanya mulai dari tur kesuburan hingga bonus bayi untuk memacu pertumbuhan populasi di dunia yang menua. Tidak demikian halnya di Indonesia, di mana pejabat berusaha meyakinkan masyarakat untuk memiliki perencanaan keluarga dengan menggalakkan ‘dua anak lebih sehat’.


Negara terpadat keempat di dunia ini mempromosikan pernikahan di kemudian hari, keluarga berencana, dan kontrasepsi untuk menurunkan tingkat kesuburannya menjadi 2,1 anak per wanita pada tahun 2025. Itu adalah tingkat penggantian yang secara efektif akan meratakan pertumbuhan populasi di negara berpenduduk 270 juta.


Kini, upaya terbaru Indonesia seperti mengikuti perjuangan selama puluhan tahun untuk menurunkan tingkat kesuburan dari 3 anak per wanita di awal 1990-an kembali dilakukan.


Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional mengatakan perbedaan dengan situasi saat ini, Indonesia tidak sekadar memperlambat pertumbuhan penduduk, tapi sekaligus memperbaiki faktor-faktor lain seperti kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan.


“Dulu fokusnya pada pengurangan jumlah penduduk. Sekarang lebih pada peningkatan kualitas penduduk. Kualitas dan produktivitas sumber daya manusia harus ditingkatkan karena kita sedang dalam masa bonus demografi. Jika tidak dimanfaatkan, bonus demografi justru bisa menjadi beban pembangunan, bukan menjadi modal pembangunan,” tutur Wardoyo melansir Bloomberg.


Menunda Bayi
Seperti banyak teman dan kerabatnya, Yulia Purnamasari mengaku hamil setelah menikah pada 2018. Namun ketika dia dan suaminya menyadari waktu dan uang yang dibutuhkan untuk membesarkan anak, mereka menunda untuk memiliki bayi lagi sehingga mereka bisa menabung untuk sebuah beberapa tahun.


“Kami pikir ini adalah rencana yang sesuai dengan kapasitas kami dengan waktu, tenaga dan uang. Kami ingin dapat memberikan perhatian, pengasuhan, dan pendidikan maksimal kepada anak-anak kami,” kata ibu pekerja berusia 29 tahun itu.


Purnamasari mengatakan dia tidak tahu tentang KB atau bagaimana mengakses konseling di tempat tinggalnya di pulau Lombok di Indonesia Timur. Beruntung, bidan setempat dapat memberikan nasehatnya tentang kontrasepsi dan memasang alat kontrasepsi.


Namun Purnamasari tetap memandang dirinya sebagai pengecualian. "Adik saya misalnya, tidak melakukan KB dan tidak rutin menggunakan alat kontrasepsi. Jika dia hamil di luar rencana, dia hanya melihatnya sebagai berkah,” jelas Purnamasari..


Peningkatan kualitas sumber daya manusia
Kampanye pemerintah untuk mengurangi orang seperti Purnamasari tanpa terkecuali, bersamaan dengan menekankan tenaga kerja yang lebih siap dalam menghadapi era digital tampaknya memenangkan hati para analis dan investor.


“Secara seimbang, saya yakin investor akan lebih senang dengan kemakmuran dan tingkat keterampilan yang meningkat di Indonesia daripada populasi yang terus meningkat,” ujar Patrick Cooke, editor pelaksana dari firma riset Oxford Business Group, mengacu pada sekelompok negara Asia Tenggara.


Kelas menengah dan nilai budaya

Menurut Satyawanti Mashudi, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pemerintah harus menghadapi pola pikir ‘banyak anak, banyak rejeki’ di antara keluarga Indonesia, terutama di provinsi yang masih menganggap anak-anak sebagai potensi sumber daya manusia untuk bisnis mereka,.


“Saya pernah berbicara dengan seseorang di pulau Kalimantan tentang keluarga berencana dan mereka berkata, 'Mengapa saya harus memiliki lebih sedikit anak? Keluarga saya masih memiliki sebidang tanah yang luas, jadi mengapa kami harus memiliki keluarga kecil?',” kata Mashudi.


Ada juga nilai budaya dan agama yang tertanam dalam negara yang mayoritas Muslim memiliki hubungan erat dengan keluarga besar dan memiliki lebih banyak anak dianggap membawa lebih banyak berkah dari Tuhan, pungkas Mashudi.


Mashudi menambahkan proses penurunan angka kesuburan merupakan proses yang panjang dan bertahap. Negara ini membutuhkan lebih dari dua dekade untuk menurunkan tingkat kesuburan dari sekitar 3 anak per wanita pada tahun 1991 menjadi 2,4 pada tahun 2017.


“Ketika populasi semakin kaya, mereka cenderung memiliki lebih sedikit anak, karena mereka tidak bergantung pada mereka ketika mereka lebih tua dan itu menjadi lebih mahal untuk pendidikan dan kebutuhan lainnya. Ini menunjukkan pertumbuhan kelas menengah dan fokus pada kualitas hidup. Bagaimanapun, itu akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum hal itu berdampak pada demografi Indonesia yang masih sangat muda,” ungkap Joshua Crabb, manajer uang senior di Robeco di Hong Kong. (LW)