EmitenNews.com -Dalam dua tahun terakhir, kalimat ‘fundamental is dead’ menggema di antara para pelaku pasar saham Indonesia. Kalimat itu bukan tanpa alasan. Ketika banyak analis masih berkutat pada rasio keuangan klasik—Price to Earnings (P/E), Price to Book Value (PBV), hingga Return on Equity (ROE)—pasar justru bergerak ke arah yang seolah menertawakan logika fundamental. Saham-saham yang naik tajam bukanlah saham-saham dengan kinerja operasional yang solid, melainkan saham konglomerat: emiten yang memiliki bisnis lintas sektor dan terkadang valuasi yang sulit dihitung dengan akal sehat.
Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Dalam satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo, arah kebijakan fiskal, moneter, hingga stabilitas makroekonomi memang menopang kepercayaan pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 14,8% sejak awal tahun hingga 16 Oktober 2025, dan secara tahunan mencatatkan kenaikan sekitar 3,5% dalam periode satu tahun penuh. Penguatan ini bahkan membawa IHSG menembus level psikologis 8.200, sebuah pencapaian yang historis dan penuh simbol optimisme. Namun, siapa ‘motor’ utama di balik kenaikan spektakuler tersebut? Jawabannya jelas: saham-saham konglomerasi.
Dalam perjalanan tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo, sepuluh saham konglomerat besar mendominasi pergerakan indeks. Dari sektor properti, infrastruktur, hingga energi, semuanya menunjukkan kenaikan yang bahkan melebihi 30% year-to-date (YtD). Menariknya, sebagian besar kenaikan itu tidak ditopang oleh lonjakan kinerja keuangan, melainkan oleh aksi korporasi dan narasi besar di baliknya—mulai dari backdoor listing, merger, hingga ekspansi ke sektor baru seperti energi hijau dan teknologi finansial.
Investor ritel berbondong-bondong mengikuti tren ini, meski sebagian besar tidak benar-benar memahami apa yang mereka beli. Harga naik dulu, analisis belakang. Itulah pola klasik pasar yang sedang euforia. Saham-saham konglo ini memiliki ciri khas yang sama: valuasi super tinggi, struktur kepemilikan rumit, dan kerap kali menjadi pusat perhatian karena pergerakan harga ekstrem yang sering kali tidak sejalan dengan kondisi fundamental. Memang tidak semua saham konglomerat buruk secara fundamental, tetapi ketika harga naik terlalu cepat tanpa dukungan fundamental, pasar akan menciptakan gelembungnya sendiri.
Kenaikan saham konglomerat ini juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang lebih ketat dalam satu tahun terakhir. Beberapa kebijakan penting yang membentuk lanskap baru pasar modal antara lain: penutupan kode broker real time dan domisili yang mengurangi transparansi aliran dana, kebijakan full call auction yang membatasi spekulasi jangka pendek, dan penurunan bobot pasar saham Indonesia oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) dan indeks global lainnya, yang membuat dana asing menata ulang portofolionya.
Dengan semua perubahan ini, saham-saham yang memiliki likuiditas tinggi dan jaringan konglomerasi yang kuat menjadi ‘tempat aman baru’ bagi investor besar. Ironisnya, ketika saham-saham berfundamental baik stagnan, maka saham-saham konglo malah terbang tinggi.
Fenomena ini kemungkinan akan menciptakan apa yang disebut banyak analis sebagai ‘kultus konglomerat’—sebuah keyakinan bahwa nama besar, akses politik, dan kemampuan menggerakan narasi jauh lebih penting daripada kinerja bisnis yang nyata. Istilah ‘value investing’ mulai terasa kuno. Sebaiknya, insider connection, corporate action, dan sentimen grup menjadi mantra baru.
Bursa saham kini tampak seperti arena narasi besar, bukan sekedar pasar harga. Di sinilah muncul paradoks: semakin tidak rasional harga sebuah saham, semakin besar minat investor untuk mengejarnya, seolah takut ketinggalan. Kondisi ini meningatkan pada masa euforia dot-com bubble awal 2000-an di Amerika Serikat, di mana perusahaan yang bahkan belum menghasilkan laba dihargai setinggi langit hanya karena ‘cerita masa depan’.
Jeremy Grantham, pendiri GMO (Grantham, Mayo, Van Otterloo & Co), seorang investor legendaris pernah berkata: ‘Pasar selalu lupa bahwa pohon tidak tumbuh sampai ke langit.’ Jika diterapkan di konteks Indonesia 2025, ucapan Grantham terdengar seperti peringatan dini. Dimana makna pernyataan di atas adalah tidak ada tren harga yang bisa naik selamanya. Cepat atau lambat, harga saham akan kembali ke nilai wajarnya. Dan ketika itu terjadi, mereka yang membeli di puncak euforia akan menjadi korban utama.
Kenaikan IHSG yang menembus 8.200 tentu menjadi pencapaian yang membanggakan. Namun, struktur kenaikan ini cenderung rapuh. Mengapa? Karena kontribusinya tidak merata. Sekitar 40% penguatan indeks berasal dari segelintir saham konglomerat. Sementara sektor lain, seperti konsumsi, perbankan, manufaktur, dan infrastruktur dasar, justru cenderung stagnan.
Sejarah pasar modal menunjukkan bahwa setiap euforia memiliki masa kedaluwarsa. Entah karena perubahan suku bunga, krisis likuiditas, atau sekadar hilangnya sentimen positif, pasar saham pada akhirnya akan melakukan koreksi. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah ‘kapan koreksi akan datang?’
Jeremy Grantham dalam salah satu esainya menulis: ‘Tidak ada yang bisa memprediksi puncak gelembung, tetapi kita selalu tahu kapan pasar sudah kehilangan rasionalitas.’ Yang bermakna bahwa kita tidak akan pernah tahu secara pasti kapan harga saham mencapai titik tertinggi sebelum jatuh (gelembung pecah). Tetapi, kita bisa merasakan tanda-tandanya ketika pasar saham sudah tidak rasional lagi—ketika harga-harga naik tanpa alasan logis dan semua orang mulai percaya harga akan terus naik selamanya.
Pasar memang bisa salah arah untuk waktu yang lama, tetapi sejarah menunjukkan bahwa nilai sejati perusahaan pada akhirnya akan menang. Investor yang cerdas tidak ikut hanyut dalam euforia, tetapi mengamati dengan hati-hati kapan narasi berbalik arah.
Related News
Danantara Gelontorkan Rp16 T, Apa Dampaknya ke Likuiditas Pasar Modal?
Kinerja Perekonomian Indonesia 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran
Kenaikan IHSG dan Fenomena Saham 'Gorengan'
Mengapa Telkom (TLKM) Kalah Dalam Lelang Spektrum 1,4 GHz?
Strategi Utang $2,54 M: Peluang Diversifikasi atau Jebakan Kurs?
Dampak Pergerakan Indeks Luar Negeri terhadap Pasar Saham Indonesia





