Sawit dan Batu Bara Jadi Pedang Bermata Dua Menuju Masa Depan Bersih

petani memanen Tandan Buah Segar sawit. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Indonesia saat ini berada di persimpangan penting dalam peta ekonomi global. Sebagai eksportir batu bara termal terbesar dan produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia, perekonomian Indonesia sangat bergantung pada dua sektor ini. Namun, dalam konteks keberlanjutan dan tata kelola yang baik (ESG – Environmental, Social, Governance), sektor batu bara dan kelapa sawit menjadi sorotan utama dunia internasional.
Di satu sisi, batu bara masih menjadi sumber energi utama nasional dan minyak sawit menjadi komoditas ekspor andalan sekaligus bahan baku domestik, seperti untuk program biodiesel. Namun, di sisi lain, kedua sektor ini sering dikritik karena kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan lemahnya tata kelola.
Selama beberapa tahun terakhir, isu ESG tidak lagi menjadi sekadar tren, melainkan telah menjadi parameter utama bagi investor, lembaga keuangan, dan mitra dagang global. Pemerintah Indonesia pun mulai merespons dengan berbagai inisiatif. Presiden Joko Widodo sendiri menyampaikan bahwa Indonesia berkomitmen menuju ekonomi hijau, namun transisi tersebut harus dilakukan secara adil dan terjangkau. Di sinilah tantangan besar muncul: bagaimana menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam sektor-sektor strategis tersebut.
Secara ekonomi, kontribusi batu bara dan sawit terhadap pendapatan negara sangat besar. Pada 2022, penerimaan negara dari sektor batu bara mencapai lebih dari Rp150 triliun menurut data Kementerian ESDM. Di sisi lain, industri kelapa sawit menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung maupun tidak langsung, menurut Kementerian Pertanian. Tidak mengherankan jika pemerintah memandang kedua sektor ini sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
Namun, berbagai tantangan ESG terus menghantui. Di sektor batu bara, isu utama adalah kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang yang tidak bertanggung jawab. Lubang bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja, pencemaran sungai, serta deforestasi menjadi masalah yang berulang, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sejak 2011, lebih dari 40 korban jiwa tercatat tenggelam di lubang tambang terbuka yang tidak direklamasi dengan baik.
Selain itu, masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang kerap mengalami dampak negatif berupa gangguan kesehatan, kehilangan lahan, serta konflik sosial yang berkepanjangan. Tata kelola yang lemah serta maraknya praktik pertambangan ilegal memperburuk situasi. Presiden Jokowi bahkan menyoroti langsung pentingnya perbaikan tata kelola tambang dan penegakan tanggung jawab lingkungan.
Di sisi lain, industri kelapa sawit menghadapi tekanan internasional karena keterkaitannya dengan deforestasi, perusakan ekosistem gambut, serta pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Produksi sawit di Indonesia telah merambah kawasan hutan hujan tropis yang menjadi rumah bagi berbagai spesies langka, termasuk orangutan. Selain itu, laporan berbagai organisasi masyarakat sipil menunjukkan adanya praktik ketenagakerjaan yang tidak layak, termasuk pekerja anak dan praktik kerja paksa di beberapa perkebunan.
Meski Pemerintah telah menerapkan kebijakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), standar ini masih dinilai belum sekuat sertifikasi internasional seperti RSPO. Beberapa negara seperti anggota Uni Eropa mulai menerapkan regulasi baru yang mewajibkan perusahaan membuktikan bahwa produk mereka bebas dari deforestasi. Hal ini memicu respons dari pemerintah Indonesia. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, misalnya, menyebut aturan Uni Eropa tersebut sebagai bentuk diskriminasi yang dapat merugikan petani kecil.
Dari sisi pasar dan investasi, tekanan ESG kian nyata. Lembaga keuangan internasional semakin selektif dalam menyalurkan pembiayaan. Beberapa bank besar bahkan telah menghentikan pendanaan untuk proyek batu bara baru. Dana investasi seperti Dana Pensiun Pemerintah Norwegia juga telah mencoret perusahaan-perusahaan sawit Indonesia dari portofolio mereka karena isu deforestasi.
Namun di sisi lain, tuntutan ESG juga membuka peluang. Beberapa perusahaan besar mulai berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi, menerapkan pelacakan rantai pasok melalui teknologi satelit, serta melakukan transformasi bisnis menuju energi terbarukan. Di sektor batu bara, sejumlah perusahaan mulai menjajaki investasi pada pembangkit listrik tenaga surya dan angin agar tetap relevan dalam lanskap energi global yang berubah.
Pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah kebijakan strategis. Melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia menargetkan puncak emisi di sektor ketenagalistrikan pada 2030 dan net-zero emissions pada 2050, dengan dukungan dana hingga USD 20 miliar dari mitra internasional. Selain itu, pembangunan Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara yang menggunakan energi terbarukan menjadi salah satu upaya konkret menuju transisi ekonomi rendah karbon.
Di sektor sawit, sertifikasi ISPO telah dijadikan wajib, meskipun efektivitasnya masih perlu diperkuat. Sejumlah perusahaan mulai mengembangkan rantai pasok inklusif yang melibatkan petani kecil serta menerapkan prinsip transparansi dan keberlanjutan. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia juga meluncurkan inisiatif “Net Zero Hub” untuk mendukung dunia usaha melakukan transisi menuju ekonomi rendah emisi.
Meski berbagai upaya telah dilakukan, tantangan tetap besar. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023 menemukan bahwa banyak perkebunan kelapa sawit masih beroperasi secara ilegal di kawasan hutan. Implementasi kebijakan di lapangan sering kali belum berjalan optimal.
Ke depan, risiko kegagalan dalam memenuhi standar ESG akan semakin tinggi: mulai dari pembatasan akses pasar internasional, penurunan investasi asing, hingga kerusakan reputasi nasional. Namun, jika Indonesia mampu menjadi pelopor dalam transformasi sektor batu bara dan sawit yang lebih berkelanjutan, peluang untuk membangun citra sebagai pemimpin ekonomi hijau sangat terbuka.
Sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam forum G20, transisi menuju ekonomi hijau harus dilakukan secara adil, inklusif, dan terjangkau. Jika dikelola dengan benar, transisi ini tidak menjadi beban, melainkan sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Pada akhirnya, semua berpulang pada pilihan strategis bangsa. Apakah Indonesia akan tertinggal di era ekonomi hijau, atau justru tampil sebagai pemimpin yang mampu membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan?
Related News

Prospek IHSG Kedepannya Berpotensi Cerah, Ini Alasannya

Strategi Indonesia Hadapi Kebijakan Trump: Diplomasi atau Konfrontasi?

Perang Dagang AS-China Guncang Rupiah & Pasar Saham, Kita Harus Apa?

Sikap Prabowo ke Saham: Ketegasan Politik atau Ketidaktahuan Ekonomi?

Tarif Impor vs Pertumbuhan Ekonomi : Bagaimana Investor Bisa Bertahan?

Dilema Adaro: Mengapa Batu Bara Masih Mendominasi Dibanding EBT?