EmitenNews.com -Industri fintech lending di Indonesia tengah memasuki periode pengawasan yang lebih ketat, menyusul beberapa kasus gagal bayar yang mencuat ke publik, termasuk yang melibatkan Investree dan Akseleran. Perkembangan ini mengungkap kelemahan struktural dalam sektor tersebut dan menimbulkan kekhawatiran atas ketahanan jangka panjang dari model pembiayaan berbasis platform.

Pertumbuhan pesat platform peer-to-peer (P2P) lending dalam beberapa tahun terakhir didorong oleh inovasi digital, kemudahan akses, dan perluasan basis peminjam—khususnya dari segmen yang belum sepenuhnya terlayani oleh lembaga keuangan konvensional. Namun, laju ekspansi ini sering kali melampaui perkembangan kerangka manajemen risiko yang memadai.

“Berbeda dengan bank atau perusahaan multifinance, banyak platform fintech beroperasi dengan buffer modal yang minim dan standar penyaluran kredit yang lebih longgar. Penekanan pada kecepatan dan otomatisasi, meskipun menarik secara komersial, dalam beberapa kasus mengorbankan aspek pengawasan kualitas kredit, terutama dalam pembiayaan tanpa agunan atau kepada pelaku UMKM, “ hal ini disampaikan Gromy Purba, Senior Analis Kredit Rating Indonesia (KRI).

Gromy Purba menambahkan bahwa karakteristik ini menjadikan sektor fintech rentan terhadap guncangan makroekonomi atau tekanan kualitas peminjam, terlebih jika pertumbuhan volume pinjaman tidak dibarengi dengan penilaian kredit, pemantauan, dan mekanisme penagihan yang memadai.

Kasus gagal bayar di Investree dan Akseleran mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara ambisi pertumbuhan dan kemampuan pengendalian risiko operasional. Dalam kedua kasus tersebut, tantangan mencakup kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL), keterbatasan transparansi informasi peminjam, serta ketergantungan terhadap pendanaan institusional yang terkonsentrasi, yang semuanya berdampak pada tekanan likuiditas dan keterlambatan pembayaran kepada lender.

Yang juga menjadi perhatian adalah keterlambatan pengakuan atas memburuknya portofolio, yang semakin menggerus kepercayaan investor. Hal ini menunjukkan keterbatasan sejumlah platform fintech dalam menangani stres portofolio, khususnya bila dibandingkan dengan lembaga keuangan mapan yang memiliki struktur permodalan lebih kuat dan dilindungi oleh kerangka regulasi yang lebih ketat.

Peristiwa ini diperkirakan akan mempercepat pergeseran perilaku pasar, dari pola “growth-at-all-costs” menuju strategi yang menekankan keberlanjutan dan tata kelola yang baik. Investor institusional dan penyedia dana diperkirakan akan semakin selektif, dengan preferensi terhadap platform yang memiliki analisis risiko kredit dan sistem penagihan yang kuat, praktik pelaporan yang transparan, pengendalian internal yang solid, serta rekam jejak pertumbuhan yang bertanggung jawab.

Di sisi lain, regulator juga mulai memperketat pengawasan, antara lain melalui peningkatan kewajiban pelaporan, pengujian ketahanan (stress test), dan penguatan perlindungan konsumen. Langkah ini penting untuk memastikan stabilitas jangka panjang dan memulihkan kepercayaan terhadap sektor fintech.

Gromy Purba menjelaskan Kredit Rating Indonesia mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dalam mengevaluasi entitas fintech. Fokus kami akan tetap tertuju pada kualitas aset dan kecukupan pencadangan risiko kredit, Manajemen likuiditas dan diversifikasi sumber pendanaan, kemampuan manajemen dalam menghadapi skenario tekanan, serta praktik tata kelola dan transparansi yang selaras dengan standar kehati-hatian keuangan.

“Meskipun fintech tetap menjadi bagian penting dalam ekosistem keuangan Indonesia, peristiwa terkini menjadi pengingat bahwa pertumbuhan harus berjalan seiring dengan kontrol risiko yang memadai. Platform yang mampu menunjukkan keseimbangan tersebut lebih berpeluang untuk mempertahankan kepercayaan pasar dan dukungan investor secara berkelanjutan,” Gromy Purba.