EmitenNews.com - Ada tontonan menarik. Puluhan orang ditawari kemuliaan menjadi wakil menteri. Ada relawan, anggota tim sukses, artist, olahragawan, pembawa acara, ormas, penceramah, dan pastinya politikus dari banyak partai. 

Apakah kalangan itu paling pantas membantu presiden menjadi wakil menteri? Seorang eselon satu di pemerintahan adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bukan hanya telah terbukti kiprahnya di departemen tempat mengabdi, tetapi juga telah disekolahkan beberapa kali oleh rakyat melalui negara hingga mencapai pendidikan tertinggi (S3). 

ASN itu, pejabat karier yang akhirnya menduduki jabatan Eselon 1 (satu). ASN telah ditempa dengan pengalaman panjang, pendidikan formal memadai, dan jaringan kerja luas. ”Sayangnya, kita melihat hanya segelintir dari mereka yang berkesempatan untuk menjadi wakil menteri,” seru Tito Sulistio, eks CEO Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Pernah ada, Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 yang dengan jelas menyatakan wakil menteri wajib diisi oleh pejabat karier. Itu masuk akal karena ASN telah mengabdikan hidup dalam birokrasi dianggap lebih memahami kompleksitas kementerian, dan memiliki kemampuan teknis untuk membantu menteri dalam menjalankan tugas. 

Namun, Perpres No. 60 Tahun 2012, mengubah skema tersebut. Di manar, wakil menteri kini tidak lagi harus dari kalangan ASN karier. Posisi tersebut dapat diisi oleh siapa saja yang dipandang memenuhi syarat, termasuk kalangan polisi, artist, penceramah, relawan, tim sukses atau profesional dari luar pemerintahan. 

Perubahan itu, menimbulkan berbagai pertanyaan. ASN telah meniti karier penuh dedikasi, disekolahkan negara, dan membangun jaringan profesional untuk memperkuat peran kementerian, kini menghadapi kenyataan posisi wakil menteri dapat diisi individu tanpa pengalaman birokrasi mendalam. Apakah ini adil bagi ASN yang telah bertahun-tahun bekerja keras, berjuang, dan berkontribusi di lingkungan pemerintahan? 

Perubahan itu, berpotensi merusak semangat para pejabat karier di kementerian. Para Dirjen, Sekjen, dan pejabat karier lainnya mungkin merasa upaya mereka tidak lagi dihargai, karena pintu menuju jabatan strategis seperti wakil menteri makin tertutup. Awalnya, jabatan wakil menteri sebagai langkah logis dalam karier birokrasi sekarang harus bersaing dengan kandidat luar, yang bisa saja tidak memiliki pengalaman sama dalam mengelola pemerintahan. Apakah ini akan menimbulkan demotivasi di kalangan ASN? 

Seharusnya, ASN yang telah ditempa dengan pendidikan dan pengalaman mendalam mendapat kesempatan lebih besar untuk menduduki jabatan wakil menteri, karena ASN adalah aset yang sudah dipersiapkan untuk memahami dinamika birokrasi dari dalam. ”Jadi, sayang sekali tontonan sore itu tidak bisa menjadi “Box Office” bagi ASN. Dirjen, Sekjen, kepala biro, dan direktur TETAP SEMANGAT!