EmitenNews.com - Darma Henwa (DEWA) per 31 Maret 2024 mengemas saldo laba Rp376 miliar. Menjungkir balik dari semula defisit senilai Rp1,09 triliun. Itu efek penggunaan mata uang rupiah dalam laporan keuangan per 31 Maret 2024 dari semula dolar Amerika Serikat (USD).

Pengubahan penyajian mata uang rupiah dari USD itu, sejalan pendapatan kontrak dengan klien per 1 Januari 2022. Selanjutnya, perseroan mengajukan persetujuan perubahan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Lalu, Kemenkeu menerbitkan keputusan Menteri Keuangan nomor Kep-223/WPJ.19/2022.

Keputusan menteri keuangan itu, mengenai pemberian izin menggelar pembukuan dengan bahasa Indonesia, dan mata uang rupiah. Oleh sebab itu, sejak 1 Januari 2023, seluruh pendapatan, dan sebagian beban disajikan dalam bentuk rupiah.

Perubahan mata uang fungsional dilakukan secara prospektif sesuai PSAK 221, pengaruh perubahan kurs valuta asing, paragraf 35. Nah, ketika ada perubahan dalam mata uang fungsional, entitas menerapkan prosedur pengajaran untuk mata uang fungsional baru secara prospektif. 

Berdasar PSAK 221 paragraf 37, hasil dari jumlah yang dijabarkan untuk pos nonmoneter dianggap sebagai biaya historis. Selisih kurs yang timbul dari penjabaran kegiatan usaha luar negeri yang diakui sebelumnya dalam penghasilan komprehensif lain sesuai paragraf 32, dan 39 (c) tidak diklasifikasi dari ekuitas ke laba rugi sampai pelepasan kegiatan usaha tersebut.

Berdasar PSAK 221 itu, perubahan mata uang fungsional telah menimbulkan dampak selisih kurs yang disajikan sebagai salah satu komponen ekuitas. ”Manajemen mempertimbangkan selisih kurs tersebut perlu disajikan sebagai akun terpisah sebagai komponen ekuitas pada laporan keuangan pada 2023 agar lebih informatif,” tegas Ahmad Hilyadi, Director & Corporate Secretary Darma Henwa. 

Dengan pertimbangan itu, perseroan menelaah kembali untuk memastikan selisih kurs yang disajikan sebagai akun terpisah sebagai komponen ekuitas pada laporan keuangan tahun 2023 masih relevan. Pada 2024, perseroan perlu mengubah pertimbanjan tersebut agar selisih kurs dampak perubahan mata uang fungsional sebaiknya disajikan sebagai saldo laba dengan pertimbangan sebagai berikut.

Selisih kurs bukan dari kegiatan usaha luar negeri, dikarenakan perseroan tidak mempunyai entitas anak atau kegiatan usaha di luar negeri, sehingga apabila disajikan sebagai akun terpisah, akan berpotensi terjadi salah tafsir. Berikutnya, berdasar PSAK 221, selisih kurs yang timbul dari penjabaran usaha luar negeri disajikan sebagai penghasilan komprehensif lain, dan direklasifikasikan ke laba rugi apabila usaha di luar negeri tersebut dijual.

berdasar kaidah itu, seluruh selisih kurs Pada akhirnya direklasifikasi ke saldo laba. Begitu juga selisih kurs yang timbul dari perubahan mata uang fungsional, secara substansi sudah menjadi bagian dari saldo laba ketika perubahan mata uang fungsional tersebut terjadi karena transaksi pendasarnya sudah terjadi. 

Apabila tetap sebagai akun terpisah, kondisi itu akan melanggar kaidah reklasifikasi di mana seolah-olah Masih Ada penjabaran unit usaha luar negeri, dan selisih kurs ini seakan menunggu transaksi lain untuk direklasifikasi ke laba rugi. Da?am konteks perseroan, pelepasan kegiatan usaha luar negeri bukanlah bentuk kondisi yang akan menyebab reklasifikasi ke laba rugi karena selisih kurs hanya dari perubahan mata uang fungsional, da? tidak dari kegiatan usaha luar negeri. 

Pertimbangan terakhir, beberapa PSAK mengatur komponen ekuitas seperti PSAK 201. Di mana, penyajian laporan keuangan, yang mengatur akun ekuitas, dan penghasilan komprehensif lain. Kemudian ada PSAK 103: kombinasi bisnis, dan PSAK 110: laporan keuangan kombinasian, yang mengatur kombinasi bisnis, dan konsolidasi di mana, komponen ekuitas bisa timbul dari transaksi perubahan pengendalian.

Adapun selisih kurs dari perubahan mata uang fungsional perseroan tidak berasal dari transaksi dengan pemegang saham, tidak memenuhi kriteria penghasilan komprehensif lain, dan bukan merupakan dampak dari perubahan pengendali. ”Jadi, perseroan telah memenuhi PSAK yang berlaku,” klaim Ahmad Hilyadi. 

Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menunggu jawaban manajemen Darma Henwa mengenai saldo laba Rp376,58 miliar pada kuartal I-2024. Membaik dibanding akhir 2023 tercatat defisit atau akumulasi rugi Rp1,09 triliun.

“Kami sudah meminta penjelasan kepada Darma Henwa. Nah, dari penjelasan awal dengan Darma Henwa, ada peningkatan penyesuaian dari nilai tukar mata uang,” tegas Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna Setia.

Berdasar laporan keuangan kuartal I-2024, Darma Henwa meraup laba bersih Rp7,981 miliar. Padahal, pendapatan anjlok 17,5 persen secara tahunan menjadi Rp1,452 triliun. Itu dipicu pendapatan jasa pertambangan Arutmin Indonesia menukik 38,06 persen menjadi Rp345,13 miliar. 

Sebaliknya, pendapatan jasa tambang Kaltim Prima Coal naik 11,5 persen menjadi Rp936,5 miliar. Selanjutnya, beban pokok pendapatan mengendap 19,9 persen menjadi Rp1,311 triliun. Dengan begitu, laba kotor melejit 13,8 persen menjadi Rp140,89 miliar. (*)